“FYI, Jadi Translator Itu Gak Segampang Copy-Paste di Google Translate!”

Saya sering ditanya orang lain tentang pekerjaan dan ketika saya jawab, “Saya kerja sebagai translator,” komentar mereka adalah “Wah, asyik ya jadi translator.” Ya, kerja sebagai penerjemah memang asyik, tapi untuk bisa bertahan di dunia penerjemahan, usahanya tidak kalah besar dengan mereka-mereka yang harus bertahan di dunia entertainment. Perjuangan kami para penerjemah tidak kalah berat dengan perjuangan para trainee yang ingin menjadi idol. Even idol ternama pun harus berjuang agar bisa bertahan di dunia per-idol-an, begitu pula para penerjemah senior. Serius. The struggle is real.

Hal yang paling menyebalkan adalah ketika orang lain bisa dengan mudahnya bilang atau berkomentar, “Jadi translator mah enak, dong. Tinggal copy-paste ke Google Translate juga beres.” 

Rasanya ingin bom itu orang. I mean it.

26ueyt2fqr2a8jfso

Saya pernah ngobrol dengan seorang teman, dan saat itu dia mengundang saya ke semacam acara perkumpulan hobi. Saya jelaskan bahwa saya tidak bisa pergi karena tugas penerjemahan masih menupuk. Dia lantas dengan mudahnya bilang bahwa saya hanya perlu copy-paste pekerjaan ke Google Translate. Saya (dengan sabar) mencoba menjelaskan bahwa proses penerjemahan tidak semudah itu karena saya, sebagai penerjemah, harus bisa memastikan kualitas penerjemahan yang dibuat. Tetapi, sayangnya orang ini memang antara tidak paham dengan proses penerjemahan atau sengaja menyepelekan pekerjaan saya, dan lantas membandingkan pekerjaan saya dengan pekerjaan lain yang sifatnya lebih physical.

“Lebih capek gue loh. Gue ‘kan kerja di bidang _____________, gue harus pergi ke sana sini, di luar ruangan, begadang sampai malam. Kalau lu ‘kan modal laptop, internet, sama otak doang, masih gampang lah.”

iygwsovjz1etk

You deserve to die that way, dude.

Jadi, dengan tulisan ini, saya berharap bisa memberikan gambaran tentang proses penerjemahan dan perjuangan yang harus saya—atau kami, para penerjemah—lalui supaya bisa bertahan di dunia persilatan bahasa ini.

Seperti halnya bidang pekerjaan lain, saya juga harus punya bekal pengetahuan yang mumpuni untuk bisa menerjemahkan. Modal bahasa Inggris saja belum cukup; saya harus belajar kriteria penerjemahan yang baik, teori dan strategi penerjemahan, dan lain-lain. Saya juga harus tahu dan mempelajari technical terms ketika saya menerjemahkan teks dengan topik-topik tertentu, seperti kesehatan, musik, atau semacamnya. Hal ini semakin sulit ketika penerjemah harus menerjemahkan artikel dengan topik keuangan, otomotif, permesinan, dan hukum. Istilah-istilah mereka terkadang belum ada padanan katanya di Indonesia dan, kalau pun ada, tidak selalu diketahui semua orang. Translation itu bukan sebatas mengubah kalimat dari bahasa sumber ke bahasa target; ada beberapa—dan banyak hal—yang perlu dipertimbangkan dalam prosesnya, dan prosesnya tidak semudah copy-paste teks ke Google Translate.

Beberapa orang bahkan sampai melanjutkan studi yang berfokus di bidang penerjemahan. Ini artinya, jadi penerjemah itu tidak bisa modal jago ngomong atau nulis dalam bahasa Inggris. Translation itu ‘kan proses transferring makna teks atau wacana dari bahasa sumber ke bahasa target, dan makna di situ tidak terpaku pada makna literal saja; yang namanya berkomunikasi, kita pasti memasukkan makna-makn lain beyond the literal meanings, ‘kan? Nah, penerjemah juga harus bisa menyampaikan makna-makna tersebut dalam terjemahan yang dibuat. Belum lagi ketika harus bergulat dengan aspek budaya, penerjemah harus pintar menggunakan strategi penerjemahan ketika menerjemahkan cultural items dari bahasa sumber ke bahasa target. Ketika kamu menerjemahkan teks yang di dalamnya terdapat frasa, misalnya, “bread and wine“, untuk pembaca yang tinggal di daerah terpencil yang sama sekali tidak mengenal istilah wine, apakah istilah tersebut akan tetap dipakai?

Nah, you either describe what wine is or change the word “wine” into something—an item equivalent to the target culture.

Anyway, terjemahan juga akan terasa lebih baik (at least bagi saya) jika mengandung unsur edukatif bagi pembacanya. Misalnya, dalam kasus “bread and wine” di atas, saya mungkin ingin menjelaskan apa itu wine dalam bahasa target agar pembaca mengetahui tentang wine.

Sebagai tambahan, ketika saya menerjemahkan artikel bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, tidak hanya kemampuan tata bahasa Inggris saja yang harus saya pahami atau kuasai, tetapi juga tata bahasa Indonesia. You think Indonesian grammar is easy, huh?

1. Which one has the correct spelling?
a. Terperinci
b. Teperinci

2. Which one has the wrong spelling? 
a. Di atas
b. Diatas

3. How do you say “exit” in Indonesian?
a. Keluar
b. Ke luar

4. Which sentence has the correct spelling? 
a. Dia menyontek ketika ujian berlangsung.
b. Dia mencontek ketika ujian berlangsung.

Jawaban akan saya berikan di akhir tulisan.

source

Jadi agak ujian begini ya? 아.. 에라 모르겠다!

Kembali lagi ke isu yang sebenarnya.

Untuk menjadi penerjemah (yang baik), saya tidak hanya harus memahami teori dan strategi, tetapi juga menjaga kualitas dan menyampaikan makna dari teks sumber ke bahasa target, termasuk makna-makna di atas makna literal. Meskipun tidak semua orang secara formal mempelajari teori dan strategi seperti saya (karena di perkuliahan dulu saya pernah belajar tentang teori dan strategi penerjemahan), pada dasarnya para penerjemah harus memahami konsepnya. Belum lagi dengan istilah-istilah bidang khusus yang harus dipahami. Ya, dari sisi akademik, jadi penerjemah itu modalnya besar, bukan sebatas jago ngomong dan nulis.

Hal lain yang membuat saya merasa bahwa jadi penerjemah tidak gampang adalah prosesnya. Bagi beberapa orang, translation mungkin dianggap sebagai pekerjaan yang pasif; tidak perlu banyak gerak, cukup modal otak saja (dan tangan untuk mengetik atau menulis). Sadly, sebenarnya tidak seperti itu. Tekanan deadline, tanggung jawab untuk mempertahankan kualitas terjemahan, tingkat kerumitan teks, dan rasa jenuh merupakan musuh utama saya (at least untuk saya yang mudah teralihkan perhatiannya). Bukan sekali dua kali saya menerjemahkan sampai larut malam dan hanya tidur selama 3 atau 4 jam saja; I can even say that I sleep for only 4 hours every night. Saya bangun pagi hari, lalu sarapan dan mengerjakan hal-hal lain sebelum akhirnya kembali menerjemahkan artikel. Selain bekerja  untuk wikiHow Indonesia, saya juga bekerja sebagai freelance translator yang menerima “pesanan” dari orang lain. Ketika ada pesanan dari orang lain, tanggung jawab saya semakin besar. Deadline pun semakin mepet. Terkadang, saya harus merelakan hari libur atau liburan keluarga untuk menyelesaikan kerjaan. Ya, bukan hanya pegawai kantoran saja loh yang lembur; saya pun lembur. Lelah batin? Ya. Lelah fisik? Sudah pasti. Setiap kali datang ke massage parlor, sang masseur selalu bertanya, “Mas, banyak begadang ya? Bahu sama lehernya kaku banget. Pasti kelamaan kerja di depan komputer.”

You know me so well.

source1

Saya beberapa kali melewati fase jenuh. Jenuh, sejenuh-jenuhnya orang dengan pekerjaannya atau banalitas kehidupannya. Bahkan sebelum saya berlibur pun, saya harus menyelesaikan pekerjaan yang “diborong” agar jatah pemasukan saya selama liburan sudah bisa “ditarik” sejak awal. Katakanlah, misalnya, dalam satu minggu saya menghasilkan 700 ribu karena satu hari saya menghasilkan 100 ribu. Ketika saya ingin berlibur selama 6 hari, saya harus tarik kerjaan dengan bayaran 600 ribu ke satu hari sebelum saya pergi berlibur. Itu artinya, kerjaan satu minggu harus saya selesaikan dalam satu hari, atau—setidaknya kalau liburan sudah direncanakan sejak awal—satu minggu sebelum berlibur. Dengan begini, saya bisa tetap mendapatkan penghasilan satu minggu meskipun saya berlibur. Capek? Pastinya.

“Ah, kita juga ngalamin hal yang sama, kok!”

Kalau mengalami hal yang sama, kenapa tidak bisa berempati pada saya, atau kami, para penerjemah? Apa karena pekerjaan kami bisa dilakukan cukup dengan duduk dan mengetik, dan memutar otak? Capek loh kerja begini juga. Mungkin kamu bisa berkomentar seperti itu karena belum pernah mencoba menerjemahkan teks.

Dare to try? Saya kasih sampel teks standar yang biasa saya terjemahkan, and you have to finish it within 2 days. Kalau berani, feel free to contact me, ya.

Oh ya, karena di perusahaan saya ada proofreaders yang setia memeriksa dan memberi skor hasil terjemahan, saya harus berusaha mati-matian agar skor saya tidak anjlok. Caranya? By producing good quality translation. Kalau kamu punya pola pikir bahwa dengan copy-paste ke Google Translate kamu bisa dapat skor bagus atau menghasilkan terjemahan berkualitas, belum satu minggu kamu sudah bisa ditendang dari perusahaan. Seriously. Pernah lihat post seorang pengguna Facebook—remaja perempuan alay—yang menulis status dalam bahasa Inggris, dan ternyata teksnya merupakan hasil terjemahan Google Translate? Next river I won’t forgive you, begitu katanya. Lain kali saya tidak akan memaafkan kamu. Lain kali.

Next river.

NEXT RIVER!

NEXT RIVER! 

NEXT RIVER!

Takdirnya RIVER! 

g1rkamvondmqq

Aduh, maaf JKT48. Gif yang dipakai malah gif AKB48.

Terkait dengan bidang lain, saya paling kesal ketika orang sudah membandingkan tingkat kesulitan pekerjaannya. Saya percaya bahwa setiap pekerjaan punya standar kesulitannya masing-masing dan setiap pekerjaan memiliki karakteristik yang berbeda. This means kamu tidak bisa begitu saja menyamakan standar kerumitan translation dengan standar bidang lain. It’s unfair when my big brother once said that kerjaan saya itu belum seberapa kalau dibandingkan dengan dia, as an architect, yang kerja lapangan dan harus lelah fisik setiap hari. Tidak adil. Itu seperti menentukan siapa yang lebih jago memanjat pohon, antara ikan dan simpanse.

Setiap orang sudah punya “bagian” masing-masing. Jangan disamakan, lah.

Lagi, I dare you to translate an article. Standar artikelnya sama dengan standar yang saya biasa terjemahkan untuk wikiHow (teks prosedural). Kalau kamu berani dan bisa menghasilkan terjemahan yang berkualitas, payment untuk artikel itu buat kamu (mis. kalau artikel yang saya kasih ternyata dihargai 8 dolar, nah uangnya buat kamu kalau memang kualitas terjemahanmu bagus). Nanti saya akan minta dua orang teman yang sama-sama bekerja di bidang penerjemahan untuk menilai kualitas penerjemahan kamu. Kalau memungkinkan, saya juga akan kasih lihat penilaiannya supaya jadi bahan masukan untukmu. Contact me on Facebook if you’re up to the challenge!

I dare you. I mean it.

Hal terakhir yang saya sayangkan adalah pandangan orang tentang biaya jasa penerjemahan. If you are the one who still kasih bayaran cap nuhun setelah minta orang lain menerjemahkan abstrak, jurnal, atau sumber akademik apa pun, seriously, grow up! Unless I stated it from the beginning that I’m going to do it voluntarily for you, jangan pernah berharap bahwa saya bisa menerima cap nuhun begitu saja. Hell no! Coba baca acuan tarif penerjemahan dari Himpunan Penerjemah Indonesia. Apakah di situ tertera “cap nuhun”? Nah, people, you don’t see it, do you? You see numbers instead.

Saya tahu diri. Saya belum mematok tarif setinggi itu (tarif maksimal per halaman belum mencapai 152 ribu rupiah, terutama untuk teks-teks ekstra ringan). Kemampuan penerjemahan saya memang belum sehebat senior-senior saya di tempat kerja atau dosen saya. Ditambah lagi, saya juga tidak banyak memahami technical terms untuk bidang-bidang tertentu, seperti kedokteran, hukum, atau permesinan. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa saya menerjemahkan secara asal-asalan. Nah, dude! Ada kriteria dan kode etik yang harus saya ikuti. Teman ya teman. Bisnis ya bisnis. Mungkin lebih tepatnya, play professionally. Balik lagi, kecuali saya sejak awal sudah bilang akan bantu sukarela, saya tidak menerima “cap nuhun” sebagai bayaran.

“Lah, kalau belum jadi penerjemah professional, ya jangan sok-sokan matok tarif mahal dong!”

Kalau aturan mainmu begitu, saya juga berhak dong membuat terjemahan yang disesuaikan dengan tarif yang kamu tentukan. Yes, sweetheart! You give me 20, I’mma give you 20. You gimme 100, I’mma give you 100. Sayangnya, aturan main seperti itu membuat saya harus melanggar kode etik, which I despise. Jadi, biasanya saya tidak terima tawaran penerjemahan seperti itu. Siapa sih yang nyaman bekerja setengah hati?

Saya mohon baca acuan tarif penerjemahan yang saya berikan di atas dalam bentuk tautan. Baca juga informasi format teksnya.

Mohon jangan samakan standar kesulitan teks kami dengan standar kesulitan bidang pekerjaan kalian yang berbeda. Jangan anggap penerjemahan sebagai pekerjaan yang mudah, yang bisa dilakukan dengan copy-paste ke mesin penerjemah daring. Jangan bandingkan kami dengan bidang-bidang lain yang lebih menggunakan fisik; we sometimes have to work our ass day and night to produce good quality translation. Some of us sacrifice what we call as “liburan berkualitas.” 

Cobalah berempati. Would you? Kita sama-sama cari duit, loh.

Jawaban soal:

1. Which one has the correct spelling?
a. Terperinci
b. Teperinci
(Kata dasar dari “terperinci” adalah “perinci”)

2. Which one has the wrong spelling? 
a. Di atas
b. Diatas
(Preposisi dan kata benda harus dipisahkan dengan spasi)

3. How do you say “exit” in Indonesian?
a. Keluar
b. Ke luar
(“Keluar” adalah kata kerja/verba, dan “ke luar” adalah preposisi) 

4. Which sentence has the correct spelling? 
a. Dia menyontek ketika ujian berlangsung.
b. Dia mencontek ketika ujian berlangsung.
(Kata dasar baku dari “menyontek” adalah “sontek” karena “contek” adalah bentuk/ejaan tidak baku)

“FYI, Jadi Translator Itu Gak Segampang Copy-Paste di Google Translate!””에 대한 답글 7개

    • Halo! Terima kasih sudah membaca tulisan saya. Ah, ya maaf pengaturannya menggunakan bahasa Korea. Semoga tulisan ini bisa menjelaskan tentang proses penerjemahan yang tidak sesederhana yang mungkin orang lain bayangkan. Untuk sesama penerjemah, semoga tetap semangat dalam menggeluti bidangnya.

      Liked by 1명

  1. I feel you. Apalag kalau masuk ranah penerjemahan karya fiksi, karena tuntutannya ditambah lagi, yaitu menghidupkan kalimat dan dialog yang ada di dalamnya supaya pas dengan isi cerita serta tujuan penulisnya walau dibaca dalam bahasa berbeda. Memangnya orang-orang yang anggap remeh itu nggak sadar ya kalau nerjemahin karya fiksi (apalagi novel klasik) dengan Google Translate itu = kiamat?

    좋아요

    • Halo, Putri! Terima kasih sudah mampir ke blog saya ya ^^
      Nah, itu betul sekali. Menerjemahkan karya fiksi itu susah banget, terutama ketika kita harus mencoba mencari frasa atau nomina yang ekuivalen dengan frasa/nomina bahasa sumber. Salah-salah, malah terjemahannya kedengaran aneh atau kaku dan “nggak hidup”.

      Tentang orang-orang yang seperti itu, saya merasa kesal tapi di sisi lain, saya ngerasa privileged buat bisa belajar tentang translation dan merasakan susahnya memproduksi terjemahan yang baik. Mereka-mereka itu mungkin bukan orang-orang yang lucky enough buat belajar translation seperti kita, atau memang terlalu bebal buat memahami betapa susahnya proses penerjemahan.

      좋아요

댓글 남기기