On Couchsurfing: Host-mu Bukan Pelayanmu

Hari ini adalah H-1 sebelum hari spesial saya. Ya, saya besok ulang tahun. Agak kesal sebetulnya mengingat bertambahnya usia, saya tambah tua.  Semakin tua, semakin banyak tekanan dan pertanyaan-pertanyaan yang nggak seharusnya orang lain tanyakan karena mengganggu privasi dan ketenangan batin (even my parents have asked such questions). Ah, sudahlah. Yang penting, saya bersyukur masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk tetap berbahagia, sehat, dan bisa bekerja.

By the way, beberapa minggu yang lalu saya nge-host teman dari Amerika Serikat. Melalui Couchsurfing, dia tanya apakah saya bisa mengakomodasi dia selama tiga hari dan dalam tiga hari tersebut, kami jalan-jalan ke sekitar Bandung dan tampaknya dia sangat suka dengan Bandung. Dia juga kasih saya hadiah–novel To Kill A Mockingbird. Sebetulnya, saya sudah lama nggak baca novel dan terakhir baca itu The Girl on the Train-nya Paula Hawkins. Ternyata, twist-nya nggak begitu “wah” buat saya, walaupun saya baca cukup cepat, sekitar 2 atau 3 hari eh sudah beres. Dia juga kasih saya cokelat yang langsung habis dalam 2 harian. Ferrero Rocher. Sebetulnya satu hari bisa langsung habis kalau kita tekun ngeganyem. Intinya, pengalaman jadi host buat Neel itu super awesome! I’m going to miss him a lot.

Ngomong-ngomong soal Couchsurfing, ada beberapa hal yang kemarin-kemarin ini saya perhatikan. Dengan menjamurnya backpacking dan liburan murah, sekarang semakin banyak layanan yang memudahkan orang untuk memuaskan wanderlust-nya. Salah satu layanan yang bisa digunakan adalah Couchsurfing. Layanan ini beda dengan Airbnb ya. Kalau Airbnb ‘kan orang semacam sewa tempat, nah kalau Couchsurfing ini nggak ada sewa-sewaan (walaupun ada loh beberapa user yang ternyata ujung-ujungnya netapin biaya sewa; kalau sudah kayak gitu ya tinggalin aja). Jadi kalau kita pakai Couchsurfing, kita bikin profil (pastikan lengkap ya buat meningkatkan kredibilitas), setelah itu kita bisa cari lokasi tujuan wisata. Nah, nanti kita bisa dapat pilihan host yang bisa menampung kita selama kita liburan. Di sisi lain, kita juga bisa jadi host buat travelers yang liburan ke kota kita. Sejauh ini saya baru menjadi host dan sudah tiga kali jadi host (dengan nanti besok, berarti jadi empat). Saya juga berteman dengan beberapa orang teman dari dunia nyata di Couchsurfing (salah satunya si Alipeng yang sekarang pindah ke Australia, only to become preman Geelong!). Puji Tuhan, referensi yang saya dapat dari para surfers dan teman-teman positif. Dari referensi itu, traveler dan host lain bisa menentukan apakah mereka mau tinggal atau menampung kita atau nggak (biasanya sih semakin banyak referensi bagus, semakin positif tentunya).

Puji Tuhan 100% positif! Referensinya… Aw yiss!

giphy1

Nah, entah kenapa beberapa bulan setelah pakai Couchsurfing, saya mulai menemukan banyak orang-orang (possible travelers alay) yang muncul di daftar travelers. Karena saya menetapkan Bandung sebagai kota tempat tinggal, saya bisa melihat beberapa traveler yang mau ke Bandung. Ada yang dari dalam negeri, ada juga yang dari luar negeri. Resenya, beberapa dari mereka bilang di kirimannya bahwa mereka cuman perlu dijemput, terus diantar belanja. That’s it? Kesannya kayak si host itu cuman temen nganter-nganter doang. Kayak supir. Kayak dibabuin.

sieklox8mli0u

Way too extreme ya the way I put it? 

Gini sih intinya. Kayaknya banyak pengguna yang belum tahu esensi dari Couchsurfing. Meskipun memang host bisa kasih akomodasi gratis (termasuk makan, minum, perlengkapan lain-lain, dan mungkin transportasi), bukan berarti kita bisa seenaknya. Tamu, sebagai yang berlibur, memang berhak dan harus kasih tahu rencana liburannya (kalau rencananya masih ngawang-ngawang kadang suka membingungkan si host juga soalnya). Nah, tapi kalau sampai berlebihan, apalagi dari cara bilangnya, itu sih menyebalkan. Banyak loh user yang suka bilang macam “We need someone to take us shopping” atau “Mostly going shopping“, atau yang terparah yang pernah saya baca adalah “Mau dijemput dari BEC ke alun-alun. Ada yang bisa?”

Seriously. Kalau masih alay, jangan pake Couchsurfing deh.

Apa sih emang esensi dari Couchsurfing itu?

Traveler bisa merasakan tinggal dan hidup senatural mungkin dengan host. Maksudnya, traveler merasakan gimana sih tinggal di kota/negara dengan budaya atau kebiasaan yang berbeda, baik dalam skala kecil (misalnya, keluarga host) maupun yang lebih besar (misalnya, kebiasaan/budaya di kota/negara yang didatangi). Selain itu, traveler juga diminta untuk mengikuti gaya hidup yang berlaku. Meskipun biasanya host berusaha untuk mengakomodasi gap budaya, si traveler biasanya secara alami “terdorong” buat mengikuti budaya yang ada. Traveler juga bisa kasih sesuatu untuk host-nya, baik secara materi atau pun nggak. Teman saya dari Amerika itu bahkan coba masak nasi goreng untuk kami sekeluarga setelah diajarin masak sama ibu. Rasanya? Nggak kalah enak kok sama nasi goreng depan kompleks. Intinya sih, dengan sistem kayak gini traveler diharapkan bisa memiliki pengalaman tinggal di kota/negara yang berbeda lebih mendalam. Kalau di hotel doang kan mungkin interaksi dengan local people-nya kurang, apalagi kalau ujung-ujungnya cuman wisata belanja aja. Saya waktu itu bahkan ajak tamu saya ke supermarket dan belanja bareng. Saya juga ajarin dia beberapa kosakata supaya dia bisa belanja atau beli-beli apa sendiri.

Kalau untuk host ya, host diharapkan bisa mengenalkan budaya/kebiasaan yang berlaku. Host juga sebisa mungkin memberikan pengalaman hidup di kota/negara asalnya senatural mungkin, tanpa membuat si traveler merasa totally jet lag. Tergantung dengan situasi di tempat host, ada banyak hal yang bisa host tawarkan. Kalau saya, biasanya di hari terakhir saya memberikan si guest beberapa kenang-kenangan, dan salah satunya adalah Indomie. Why? Karena nyari Indomie di luar negeri itu susah, bray! Semua traveler dari luar negeri yang pernah tinggal sama saya suka banget Indomie. Selain itu, kalau ada transportasi dan lain-lain yang bisa disediakan, host juga punya pilihan untuk menyediakannya. Host juga punya hak untuk memberi tahu traveler mengenai jadwal pribadinya, in case nih rencana si traveler tabrakan dengan jadwal pribadi host. Terakhir yang terpenting adalah, karena sistem tinggal yang gratis, host NGGAK BOLEH menagih traveler uang, terutama mendadak di akhir kunjungan.

Saya rasa kalau mau kayak gitu, mendingan buka lapak di Airbnb aja sekalian.

Dengan esensi Couchsurfing yang seperti itu, para pengguna alay yang pengennya minta dianter ke sana ke sini doang, minta ditemenin jalan ke mall atau belanja doang, dan ujung-ujungnya si traveler cuman gitu-gitu doang nggak ada kasih kesan berharga buat host-nya mungkin bagusnya jangan dulu pakai Couchsurfing dan request akomodasi. Apalagi ternyata setelah diterima, si traveler malah diam di kamar doang dan main HP. Traveler kayak gitu mungkin bagusnya dipindahkan saja ke hostel terdekat. Host juga biasanya pintar-pintar pilih traveler untuk ditampung di tempatnya. Di sisi lain, host juga semaksimal mungkin harus kasih pengalaman tinggal yang mengesankan buat traveler. Ya, saling memberi aja deh, terutama memberikan pengalaman dan kesan yang positif.

Saya jadi ingat dulu ada pengguna yang request akomodasi, dan cara dia minta akomodasi itu seperti orang yang nyelonong aja gitu. Ketika saya bilang nggak bisa, dia tampaknya kecewa (tapi bilangnya sudah nemu host lain). Ketika si host-nya itu ada acara sendiri, dia kembali hubungi saya dan merengek minta ditemani ke Lembang. Ketika saya bilang nggak bisa, dia seperti agak maksa dan di sini saya diamkan dia. Di sisi lain, saya ingat pernah iseng cari host di beberapa kota. Nah, para host yang ternyata referensinya sudah banyak ini terkadang suka agak “ngehek” tentang persyaratan yang harus dilakukan si traveler. Macam, kalau lu mau tinggal sama gue, lu harus sudah blablabla. Meskipun memang kita harus mengikuti peraturan yang berlaku di tempat si host, kalau persyaratan di luar peraturan luar rumah terlalu menyebalkan, ya orang juga keburu malas duluan request akomodasi.

FYI baca profil host atau traveler sebelum kasih tanggapan itu WAJIB ya. Apalagi kalau kamu mau cari akomodasi, wajib baca profil calon host-nya dan dapatkan informasi selengkap mungkin tentang kondisi tempat tinggal dan sebagainya.

Kembali lagi deh, intinya sih keseimbangan. Jadi traveler yang sopan dan menghormati host atau calon host. Jadi host yang menyenangkan dan ramah bagi traveler. Saling berbagi dan memberikan pengalaman positif. Kalau kayak begini kan esensi Couchsurfing jadi terasa. Kalau seandainya masih nggak mau buat kayak gitu, masih pengen sibuk sendiri sama gadget, masih pengen minta dianter-anter ke sana kemari seenaknya doang, sewa kamar hotel, dan cari layanan sewa mobil dan supirnya. Beres ‘kan?

giphy4

Duh, seriously jadi ingin traveling.

댓글 남기기