포기하지마, 데미안: Kerja Keras, Apresiasi, dan Kaum Idiot

Di sela-sela jam kerja, saya gatal ingin nulis. For early warning, I’m going to rant a lot.

But first of all, don’t give up, Demian!

Beberapa hari yang lalu, saya menonton video penampilan pesulap Indonesia, Demian Aditya, di ajang America’s Got Talent. Honestly, saya terpukau dengan penampilan itu. Meskipun dari awal saya sudah bisa menebak bahwa Demian pasti bisa meloloskan diri, twist yang 완전 최고 di akhir penampilan bikin saya tercengang. Kalau belum lihat videonya, coba tonton di bawah ini:

Twsit-nya gila, ‘kan? Like, how the fuck could he get out of that box and pretend to be one of the crew members?! Untuk melakukan trik seperti itu, tentunya diperlukan latihah dan persiapan yang sangat matang. I can’t do that. If I were him, saya pasti udah keburu panik duluan. Selain itu, fakta bahwa Demian bisa tampil di ajang bergengsi seperti America’s Got Talent harusnya membuat bangga orang Indonesia karena negara ini diharumkan namanya oleh Demian.

Beberapa hari setelah saya menonton video penampilan Demian, ada video yang diunggah Dedy Corbuzier tentang komentar-komentar pedas yang dilayangkan kepada Demian terkait penampilannya di AGT. Katanya, Demian nyogok lah, atau trik itu basi lah, atau whatnot. Dedy menyayangkan (or, rather, mengecam) para tukang nyinyir di kolom komentar YouTube yang bisanya hanya mengejek dan mencemooh penampilan Demian. “You are idiots!” kata Dedy Corbuzier untuk orang-orang tersebut. Dan kalau saya buat video yang sama seperti yang dibuat Dedy-ssi, saya pun akan mengatakan hal yang sama. Tadi, saya melihat ada foto yang diunggah Demian dari akunnya. Dalam foto itu, ia menuliskan kekecewaannya terhadap orang-orang yang tidak menghargai usahanya untuk mencintai Indonesia. Susah mencintai Indonesia ketika Indonesia sendiri tidak mencintai dia, katanya. Miris saya bacanya karena sejauh ini, saya lihat Demian di TV tampil keren dan memukau, dan sekarang dia tampak tertekan dan sedih. Tiba-tiba saya ingat salah satu episode Friends ketika Joey depresi, dan kesedihannya membuat the happiest dog in the world menjadi depresi.

giphy

Walaupun berbeda cerita, tetapi apa yang saya (dan beberapa orang yang saya kenal) alami di dunia nyata ternyata sama dengan apa yang Demian alami. Usaha kita tidak dihargai dengan layak. Alih-alih dihargai, kita malah diejek, dicemooh, atau dianggap remeh. In my case, katanya buat apa repot-repot jadi penerjemah kalau udah ada Google Translate. Untuk kasus teman-teman saya, katanya ngajar itu gampang jadi nggak perlu dibawa pusing. Untuk kasus teman saya yang bekerja sebagai desainer, katanya ngegambar itu gampang; anak TK juga bisa jadi nggak usah patok harga mahal. Untuk kasus teman saya yang membuka usaha kafe, katanya ngapain jualan minuman semacam pop ice. Ada peribahasa: anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Kata penjual jam KW di depan Pasar Baru, kemarin Luna Maya lewat, yang lain pada belanja. Nggak relevan memang. Nah, masalahnya, mau sampai kapan sih itu anjing yang menggonggong ngikutin kita terus?

Mungkin bagi mereka, pekerjaan yang saya, Demian, atau orang-orang yang senasib dengan kami lakoni bukanlah pekerjaan yang prestisius. Pekerjaan seperti ini buat mereka adalah hiburan semata, trifles, atau tetek bengek (I didn’t get why they call it “tetek bengek” because obviously, boobs do not have asthma attack). Mungkin mereka tidak akan banyak bacot ketika yang tampil di AGT adalah dokter bedah yang bisa mengangkat batu ginjal hanya dengan sekali sentuh, atau penerjemah pertama yang berhasil membuat kamus bahasa Kucing – bahasa Manusia. Even untuk pekerjaan yang dirasa prestisius dan rumit, seperti menjadi mayor (salut untuk kang Ridwan Kamil), mulut-mulut kotor itu masih aja nggak berhenti bicara. Memang sih apa pun yang kita lakukan, akan selalu ada orang yang nggak suka dengan kita. Masalahnya, mau sampai kapan sih pola pikir bigoted begitu dipelihara?

Kalau orang seperti saya atau teman-teman yang lain, yang biasa-biasa saja dan bukan orang terkenal berkomentar dan berkeluh kesah seperti ini, tanggapan yang didapatkan mungkin semacam “Ya udah lah terima aja”, “Ya ampun, masih untung kerjaan kamu tuh kayak gitu. Kerjaanku lebih susah tau”, atau “This is life, dude. Don’t be such a baby“.  Ya, orang-orang kayak saya mungkin kalau celoteh macam ini pun tidak akan digubris, dan tulisan saya tidak akan nyampe ke otak-otak para idiot itu. Nah, bagaimana kalau orang sekelas Demian, Dedy Corbuzier, atau Ridwan Kamil akhirnya buka mulut tentang rasa sakit hatinya? Saya yakin pasti yang komentar lebih pedas bakalan ada, tetapi kalau mereka sudah sampai sakit hati dan kecewa seperti itu, benar-benar deh ini masyarakat tukang nyinyir mungkin bagusnya dikirim ke kamp konsentrasi dan dibunuh saja semuanya biar orang lain bisa hidup lebih tentram. Am I being too harsh? This is life, dude. Don’t be such a baby! 

Mari flashback sedikit ke topik yang pernah saya bahas di tulisan sebelumnya. Bekerja sebagai penerjemah bukanlah hal yang mudah. Perkembangan teknologi ternyata, untuk sebagian orang, nggak sejalan dengan perkembangan pola pikirnya. Mereka masih mendet di titik yang sama, masih jatuh ke lubang yang sama, masih bego buat topik yang sama (makanya jangan makan jerawat). Nih ya, memangnya kalau pakai Google Translate, hasil terjemahannya sempurna? Yakin? Duh jadi ingat dulu ada pengguna Facebook dari antah berantah yang buat status berbahasa Inggris hasil terjemahan Google Translate. Pas di-confront oleh temannya, eh malah nyolot itu cewek. Dia bilang, “Next river, I will not forgive you“. Maksudnya, lain kali aku nggak akan maafin kamu. River? AKB48?

giphy1

Takdirnya RIVER! RIVER! 

Next river opo kuwi, mbak. Brantas river? 

닥쳐!

Ya, dulu ada yang pernah bilang ke saya bahwa nerjemahin itu gampang. Copy-paste aja ke Google Translate. Sorry, saya nggak bego macam mbak-mbak next river itu. Untuk hal ini, gengsi saya sangat tinggi jadi jangan samain sama kaum proletar yang culture shock sama produk teknologi yang bikin orang “tampak” smart. Kalau nerjemahin itu gampang, ngapain saya harus capek-capek belajar bahasa Inggris bertahun-tahun, kuliah ti suksuk ti dungdung kalau kata orang Sunda, working my ass off buat menghasilkan terjemahan yang akurat? Kalau nerjemahin gampang, ngapain juga orang-orang perlu jasa penerjemahan? Lha wong tiap orang bisa nerjemahin sendiri. Gini ya gampangnya, tanpa penerjemah, kamu-kamu proletar yang kuliah di Universitas Nipu Kolot itu bakalan kerimpungan ketika pake HP yang nggak ada bahasa Indonesianya, atau baca buku manual TV yang semuanya bahasa Mandarin (dan ngaku deh lu, pasti taunya cuman tong fang doang ‘kan?), atau nonton horror Thailand yang hurufnya macam toge itu. Bahkan, Google Translate juga di belakangnya ada para penerjemah! Coba, lu sendiri bisa nggak nerjemahin? Halah, sok-sokan ngata-ngatain nerjemahin itu gampang. Nerjemahin kode dari pacar lu aja kagak bisa.

2nxzgppvaqpau

Syahdu~

Itu kasus saya. Kalau kasus temen saya, dia bilangin sama seseorang bahwa kerjaan dia tuh gampang, cuman ngajar doang. Cuman ngajar doang. Ngana pikir ngajar itu simple? Simple, tapi past tense. Bingung? Makanya jangan bego. Nih, ngana mau jadi guru, ngana nggak cuma harus menguasai materi mata pelajaran, tetapi juga tahu teknik-teknik mengajar. Belum lagi kalau murid-muridnya susah diatur. Ngana pikir ngurus empat puluh orang murid yang kelakuannya wonderful itu gampang? Ngana urus diri sendiri aja nggak bisa. Ngana pasang gas atau galon aja sampai telepon pemadam kebakaran. Ngana pe anak itu tidak diurus sampai naik motor dan masuk sawah.

Saya juga miris ketika teman saya yang bekerja sebagai desainer grafis mendapatkan banyak komentar pedas tentang pekerjaannya (dan, lebih tepatnya, pematokan harga). Katanya, ngegambar doang sih semua orang bisa. Lha kalau ngegambar semua orang bisa, ya gambar lah sendiri. Buatlah desain sendiri. Pikirkan ide sendiri. Kalau alasannya, tapi ‘kan orang lain gambarnya lebih bagus. Kamu pikir orang lain nggak punya kehidupannya sendiri, dan hidup buat bikin gambar buatmu? Belajar desain itu nggak gampang. Orang sampai kuliah bertahun-tahun, begadang setiap hari, ini itu dan lain-lain sampai masuk rumah sakit gegara tipes, ya itu buat belajar desain.

tumblr_inline_nk3jblkwsn1rtcuwt

Satu hal yang saya yakin pasti adalah mereka yang senang nyinyir itu orang yang nggak punya apa-apa. Dalam hal ini, mereka nggak punya kemampuan yang kita miliki. Mereka nggak bisa sulap macam si Demian atau Dedy Corbuzier. Mereka nggak punya kemampuan buat desain dan atur tata ruang kota macam kang Ridwan Kamil. Mereka cuman ngandelin Google Translate doang dan makan mentah-mentah hasil terjemahan mesin. Mereka pasti waktu sekolah nggak banyak ngehargain guru, kerjanya either ponteng, ngobrol di kelas, mangan di kelas, atau nggak naik kelas bertahun-tahun. Mereka pasti sirik dengan orang lain yang buka bisnis karena mereka mau bisnis tapi leha-leha. Wajar banget kalau Dedy Corbuzier (yang makin ke sini kok keliatan mirip bang Opan ya?) bilang bahwa mereka itu idiot. Betul, om. Idiot. Kalau nggak bisa berkarya, 닥쳐! Shut the fuck up! Jangan nyinyir atau bisanya komentar doang! Kalau kamu merasa lebih jago dari orang lain, tunjukkin pakai karya kamu dan dengan cara yang berkelas. Jangan banyak bacot dan ngerendahin orang lain, tapi beraninya lewat kolom komentar doang.

Kalau pola pikir dan perilaku seperti ini tetap tertanam dalam diri masyarakat Indonesia, cepat atau lambat beberapa bidang pekerjaan akan jadi worthless. Seperti yang Dedy Corbuzier bilang, cepat atau lambat pertunjukan sulap bakalan nggak laku di Indonesia. Kalau orang tetap komentar bahwa nerjemahin itu ecek-ecek, cepat atau lambat para penerjemah bakalan tergusur sama mesin penerjemah yang akurasinya only God knows deh (tapi saya yakin sih mereka tetep butuh penerejmah).

Saya yakin Demian Aditya deserves something better.

Untuk mereka para tukang nyinyir, tolong dong mulutnya jangan jelek kayak muka. I’m serious. Tolong lah tunjukkan apresiasi. Kalau nggak suka sama sesuatu, jangan bisanya cuman menghujat. Coba dong buktikan dengan karya kamu. Buktikan bahwa nih gue lebih jago daripada lu supaya at least, walaupun kamu orangnya cocky dan picabokeun, kamu menunjukkan kemampuan kamu in a classy way.  Jadilah orang yang cinta damai, bukan orang yang seneng ketika atmosfer internet jadi panas dengan komentar-komentar pedas. Kamu pengen tinggal di dunia yang penuh dengan kebencian? Yang distopia banget? Pindah sana ke tempat lain, jangan tinggal di Indonesia.

Introspeksi. Memang kamu sudah punya apa sih buat dibanggakan?

댓글 남기기