“I Trust Nobody”

Tadi malam, saya seperti biasa nggak bisa tidur. Jam biologis saya semacam sudah rusak. Saya nggak paham lagi dengan konsep gaya hidup yang sehat karena kalau salah satu aspek dalam gaya hidup yang sehat adalah jam tidur yang normal dengan durasi yang cukup, aspek itu nggak tercermin dari diri saya. Nggak bisa menyalahkan pekerjaan juga sih karena kadang-kadang saya juga begadang untuk main game atau sekadar berkontemplasi, mengorek lagi luka lama dan membiarkan diri tenggelam dalam memori masa lalu yang kalau bisa sih dikremasi aja karena dikubur doang nggak mempan.

By the way, saya lagi mengalami quarter-life crisis.

149f6cg3vke82k

Kembali ke topik utama deh. Quarter-life crisis nggak perlu dibahas dulu deh. Biarlah humor jadi defence mechanism terbaik saja.

Ya, tadi malam saya nggak bisa tidur. Sebetulnya bisa sih dan, fortunately, saya mimpi unik. Di mimpi itu, saya menginap di rumah teman saya, Rio-hyung (김시온), di Korea. Tapi anehnya, itu bukan rumahnya, tapi semacam asrama karena si teman saya ini ceritanya kerja di semacam restoran. Nah, waktu saya bilang mau tidur siang, si 사장님-nya inspeksi asrama dan malah ngobrol sama saya. Lalu tiba-tiba ditunjukkanlah peta yang memuat bahwa di sekitar area tersebut akan dibangun area peluncuran roket ke bulan. What’s weirder is di Korea ada angkot. Betulan angkot!

i3lyihraawbzg

날 깨워줘! Mimpi ini sudah sangat absurd!

Sebelum tertidur, saya sempat buka Facebook (padahal sudah janji mau mengurangi penggunaannya tapi tetap aja dipakai) dan lihat kiriman yang diunggah guru bahasa Inggris saya waktu masih jadi jungding (SMP) dan goding (SMA). Beliau memang rajin menulis di blognya dan merupakan salah satu guru favorit saya dulu. Ngobrol sama beliau itu ambiance-nya beda. Asyik, satu frekuensi, dan 친구처럼 같이 이야기 할 수가 있는 선생님입니다. Walaupun kadang ada ucapan yang pahit, but it’s true loh. Jadi, bisa dibilang beliau nggak begitu aja main sugarcoat berbagai hal. Tough but fair, tapi dari situ sih saya banyak belajar dan berkembang (did I?).

Intermezzo singkat ya. Kalau chatting di Korea, biasanya kalau nulis semua disingkat (di Indonesia juga gitu sih). Nah, urutan pendidikannya sama kayak di Indonesia: SD (초등학교 atau chodeunghakkyo), SMP (중학교 atau junghakkyo), SMA (고등학교 atau godeunghakkyo), dan perguruan tinggi (대학교 atau daehakkyo). Buat menyebut siswanya, hapus suku kata “kyo” dan ganti pakai “saeng” (생). Nah, karena kalau chatting ngetik godeunghaksaeng itu kepanjangan, akhirnya digantilah fragmen “deunghakkyo” dan “hakkyo” dengan “ding” (딩). Misalnya, anak SMP itu jadi 중딩 (jungding). Tadi saya sebut jungding dan goding. Berarti tebak ya kira-kira waktu itu saya di tingkat pendidikan yang mana.

Kembali ke topik. Kebanyakan intermezzo ya perasaan tulisan-tulisan saya. Ya, singkat cerita ya saya baca kiriman yang diunggah guru saya. Di kiriman tersebut, beliau bercerita mengenai muridnya di tempat les yang ternyata mengalami depresi. Beliau juga memaparkan bahwa untuk bisa memahami remaja, tentunya cara mengobrol pun harus disesuaikan. Intinya sih, sesuaikan diri kita dengan siapa lawan bicara kita (inilah sebabnya saya selalu pusing ketika harus simplify tech-related things to my grandma, like, explaining how WhatsApp works in layman’s term). Salah-salah, remaja bisa ngerasa awkward ketika harus bercerita dan malah jadi enggan untuk buka mulut dan berbagi masalah. Padahal, remaja kan harapan bangsa.

giphy3

Jadi ingat saya pernah mengalami apa yang murid guru bahasa Inggris saya alami. Basically, dia dan saya sama posisinya, sama-sama muridnya beliau. Sama-sama pernah mengalami depresi (kalau sekarang gimana ya… depresi ga ya…).

I’ve told you, humour is the best defence mechanism.

Hallelujah!

Kalau saya ketemu dia, ingin rasanya bilang, I’ve been there. You’ll be fine. Trust me. Even when you think you’ll never be fine, eventually you will. Find a support group and great resources to learn from. Stick to people who love and understand you. Mungkin apa yang dia alami agak berbeda dengan saya. Kuharap kondisi dia lebih baik daripada kondisi saya dulu. I was a masochist. Not many people know that dark side of me. Coba tebak hal menyebalkan apa yang saya hadapi ketika mencoba cerita tentang hal itu ke beberapa orang? Katanya, saya agamanya ga bagus. Saya kurang iman. Saya mentalnya lemah. The fuck! 

Gara-gara itulah saya jadi semacam malas dan benci sama orang. Saya pikir semua orang bakalan sama aja, menanggapi saya dalam cara yang sama. Nggak ada gunanya percaya sama orang. I trust nobody. Bahkan, saya nggak percaya orang tua saya. Serius loh. I had a strained relationship with my parents when I was in high school. I ran away, tapi malah ketahuan sama seseorang dan diantar pulang ke rumah, which was memalukan (I should have run somewhere really far, over the rainbow). Ibu saya adalah seorang psikolog, tapi menurut saya caranya menanggapi dan menghadapi saya malah nggak mencerminkan sisi psikolognya. Like, hasil kuliah selama ini kok nggak diterapkan dengan benar ke anaknya sendiri? Ibu selalu bilang bahwa dia paling mengerti anaknya, tapi pada kenyataannya saya lari dari rumah. Saya nggak percaya siapa pun, termasuk orang tua saya. Kelas dua semester dua rasanya seperti neraka. I wished I could just die, dan itu bukan sebatas komentar atau keluhan manja ya, yet people thought I was just a spoiled guy. Manja katanya. The fuck loh. Di usia segitu, saya udah kerja jadi translator demi dapat uang tambahan loh (yang juga digunakan untuk ponteng).

Jadi, kalau pun memang saya banyak ngeluh, si keluhan itu diikuti dengan usaha buat cari duit. Bukan cuman sebatas rewel belaka. I bet mereka yang menilai saya seperti itu bahkan di saat itu got no ability to earn money like I did.

Gimana saya bisa pulih dari situasi tersebut?

Saya lupa pastinya gimana, mungkin kalau saya baca lagi blog lama saya, nanti inget bagaimananya. Yang jelas, proses pulihnya lumayan lama, dari mulai nggak main cutter sampai bisa mulai percaya lagi sama orang dan berteman dengan normal. Sampai sekarang, kadang saya masih bisa merasakan gejala-gejala depresi dan emosi saya masih belum bisa benar-benar stabil. Tapi, mungkin karena ketutup sama humor jadi, ya.. si gejalanya nggak kerasa kentara banget kalau sekarang. Ketika menghadapi teman yang mengalami hal yang sama, kadang saya suka cerita juga dulu bagaimana ketika saya di posisi yang sama dengan dia.

Hanya saja…

Kadang saya suka nggak paham dengan orang-orang yang (sebetulnya) nggak depresi, tapi mengaku depresi. It’s more like.. merekanya memang manja aja nggak mau usaha dan ketika ada sesuatu yang nggak sejalan dengan keinginannya, mereka malah marah, kecewa, dan langsung terpuruk, menyalahkan faktor eksternal, bukannya usaha buat memperbaiki diri dan keadaan (sometimes the problem lies within you loh). When someone is depressed, nggak berarti dia itu totally nggak bisa ngapa-ngapain loh. I was depressed, yet managed to earn some money. Kecuali depresimu sudah akut banget dan kamu memang sudah ke psikolog atau psikiater dan punya bukti tertulis mengenai depresimu, orang-orang yang mengalami depresi itu sebetulnya masih bisa berusaha buat memperbaiki keadaan dan pulih, terlepas dari serangan anxiety yang kadang muncul dan susah dikendalikan. Nah, orang-orang semacam itulah yang bikin saya mulai kembali merasa cemas dan (semoga nggak ya) merasakan gejala-gejala depresi lagi. Ya, saya malah roman-romannya depresi gara-gara orang macam itu. I don’t know who to trust! Kadang orang dikasih kepercayaan, eh malah ngelunjak. Dikasih dukungan moral, ternyata sebetulnya nggak butuh dukungan itu dan lebih butuh “duit” atau apa lah supaya their so-called depression hilang.

Call me selfish. Tapi betul loh saya jadi susah percaya sama orang. Meskipun saya pernah di posisi depresi, saat ini saya paham loh bahwa ada orang yang “memanfaatkan” istilah depresi untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Sounds harsh? That’s reality. Deal with it. Kalau kamu mengalami depresi tetapi tidak merasa menjadi sosok seperti itu, then jangan ngerasa butthurt. Kamu harus butthurt ketika kamu memanfaatkan istilah itu demi mendapatkan apa yang kamu inginkan, while you’re actually working normally as a human being! Saya bukan satu atau dua kali loh dimanfaatkan oleh orang-orang semacam itu yang mengaku “I’ve been there, dude! Kita sama!” kepada saya, dan ternyata eh… selalu jatuh ke lubang yang sama, datang dengan curhat yang sama, yang sebetulnya sudah ada tangganya (bahkan lift!), tapi selalu bilang, “Ah, aku tuh depresi! Kamu harusnya ngerti!” Dari mulai teman, kerabat, hingga kenalan, ada loh yang begitu.

And don’t you know that kamu kayak begitu itu menyulitkan orang-orang betulan mengalami depresi? Kalau orang-orang mulai nggak percaya dan ragu dengan ucapan-ucapan semacam itu (or, at least, semakin banyak orang yang nganggap remeh orang yang kena depresi), bagaimana nasib mereka yang betulan kena depresi? Dampak dari depresi saya dulu yang masih ada sampai sekarang adalah, saya nggak bisa cerita masalah ke orang lain. Masalah-masalah trivial sih bisa lah, karena saya tahu biasanya yang gitu bisa saya selesaikan sendiri. Tapi masalah-masalah yang berat? Yang benar-benar jadi beban hidup? Yang bikin saya kadang nggak bisa tidur semalaman? No! Even ketika saya cerita seperti ini, memangnya saya cerita secara spesifik masalah beratnya apa? Nggak. Saya cuman mau kasih tahu aja bahwa akibat nggak percaya sama orang lain, saya jadi mendam masalah.

“Cerita aja. Jangan dipendam”

It’s not as easy as fuck. 

 

But trust me, when I open up to you, I trust you. 

Dan itu butuh semacam kekuatan paripurna bagi saya buat bisa cerita dan terbuka.

댓글 남기기