Rokok, Ukuran, dan Machismo

Warning: (kind of) NSFW post! Kalau nggak suka tulisan yang frontal, atau pola pikirnya masih pola pikir zaman prehistorik, mendingan jangan baca tulisan ini. Your’re gonna see lots of boobs here.

Barusan saya lihat iklan rokok di TV. Di iklan dengan tona warna monokrom itu, ditampilkan seorang laki-laki yang mengendarai convertible, tampak tersenyum ke arah perempuan yang sedang joging. Sayangnya, senyuman itu hilang ketika si perempuan melirik ke arah lain–ke arah pria lain yang mengendarai semacam mobil jip raksasa. Dibandingkan elemen lain di frame, si mobil jip ditampilkan dalam warna merah, mirip adegan The Girl in a Red Coat di film Schindler’s List. Scene terakhir iklan menampilkan pengemudi jip tersenyum ke arah kamera, diikuti dengan narasi “Cowok tahu ukuran itu penting.”

Saya langsung teringat satu scene di film Titanic ketika Rose DeWitt Bukater duduk bersama keluarga dan beberapa penumpang kelas satu, termasuk Molly Brown, Bruce Ismay, dan arsitek kapal, Thomas Andrews. Di scene yang berlokasi di Palm Court itu, Ismay Bruce menceritakan tentang keinginannya untuk membangun kapal yang megah dan besar. Ucapannya ini disindir Rose dengan menceritakan pandangan Sigmund Freud mengenai ketertarikan pria terhadap ukuran (male preoccupation with size) yang mungkin bisa menjadi hal yang menarik untuk Bruce. Celetukan ini ditanggapi dengan tawa dari beberapa orang, kecuali Bruce dan Ruth DeWitt Bukater, ibu Rose yang dari awal film hawa-hawanya udah nggak enak. If Ruth was a building, kayaknya feng shui dia jelek.

1fe524e8-37fe-4f94-ba2e-752a8b2be759_text_hi

Pernah mengambil kelas semiotika, saya mempelajari tentang simbol dan makna. Dalam iklan rokok tersebut, kedua mobil yang ditampilkan menyimbolkan perbedaan ukuran: kecil dan besar. Akan tetapi, adanya elemen warna pada mobil besar dalam skema warna monokrom menonjolkan objek mobil besar tersebut. Hal ini didukung dengan narasi dan arah tatapan langsung pengemudi mobil besar ke arah kamera—ke penonton, seolah memberi tahu bahwa penonton harus tahu kalau “size does matter”. Else, ada teks di frame yang mengatakan “Kode Cowok: Ukuran itu Penting”.

Duh, textbook tentang multimodality gue di mana ini?

Dulu di kelas semiotika, setiap mahasiswa ditugaskan untuk membuat penelitian pendek. Saya mengambil objek penelitian berupa iklan. Saya lupa lagi siapa yang bilang tapi pada dasarnya, setiap tindakan manusia itu memiliki makna. Selain tindakan, objek yang dibuat manusia juga bisa membawa makna. Makna pada objek hadir karena manusia memasukkan makna pada objek tersebut. Let’s say, kenapa kitab suci (agama apa pun ya) nggak boleh diinjak-injak? Karena orang memasukkan makna “suci” pada objek kitab suci tersebut (intinya, mereka memaknai objek itu sebagai benda yang sakral), thus nggak boleh diinjak-injak atau diperlakukan dengan tidak sopan. Orang yang tidak menaruh atau mempercayai makna tersebut mungkin nggak akan melihat kitab suci tertentu sebagai barang sakral, tapi, well, hidup harus saling menghargai jadi apa pun pandangan kamu terhadap sesuatu, hargailah pandangan orang lain (yang mungkin berbeda) terhadap hal yang sama, unless you are an asshole.

Sebagai objek buatan manusia, iklan juga memiliki makna. Ya gampangnya gini deh, iklan dibuat untuk menyampaikan makna yang dimilikinya, like, promosi produk. Akan tetapi, iklan nggak hanya mempromosikan produk, tetapi juga bisa menyebarkan paham atau ideologi tertentu yang, tentunya, diatur oleh (mungkin) pihak pembuat iklan, produsen produk, atau pihak lainnya (aku lupa ini siapa yang ngomong karena textbook-ku kok nggak ada dicari-cari buat cek referensi). Dalam iklan rokok tersebut, saya bisa melihat bahwa iklan tersebut menyampaikan makna (bahkan secara gamblang) bahwa salah satu kode pria adalah pemahaman mengenai pentingnya ukuran. Semacam, hey guys, you gotta know that size does matter. You know what? Girls like big things! Iklan rokok tadi saya asumsikan ditujukan untuk kaum adam karena dari tagline pun bilangnya “Kode Cowok”. Selain itu, sejauh ini kayaknya produk rokok itu lebih banyak dibeli cowok daripada cewek. Saya nggak ngerokok sih so correct me if I’m wrong.

Yah, walaupun scene di film Titanic itu semacam kesalahan karena Freud baru mengemukakan notion mengenai ketertarikan pria pada ukuran di tahun 1920 (sementara film menampilkan latar di tahun 1912), apa yang Rose katakan ada benarnya sih. Dan saya rasa, orang-orang sering secara nggak sadar tertarik dengan hal-hal yang besar. Big houses, big ships, big hotel rooms, big California king bed, big bathtubs, big dicks, big boobs, atau giant asses kalau kata Rachel Green (sambil nepokin pantat Ross dan nastily joget di depan baby Emma) sering kali menarik perhatian kita. Entahlah, mungkin di alam bawah sadar kita semacam ditanamkan bahwa something big makes something good. Rumah besar, mungkin lebih mewah, lebih keren. Mobil besar, lebih leluasa, bisa naro meja roulette di dalemnya macam mobil van di Pimp My Ride. Skor besar, lebih pintar. Dick besar, mungkin lebih bisa memuaskan. Big boobs and butts? Lebih sexy katanya.  Lebih besar, lebih superior, lebih mantap.

giphy

THERE IT IS! SUPERIORITY!

Saya coba ingat momen-momen ketika hal-hal yang besar membuat saya lebih superior dibandingkan orang lain. Lemme see. Mobil saya ‘kan Yaris, ukurannya kecil. Badan saya juga kecil. Boobs? I don’t have boobs. Dick? Masa diomongin sih di sini? Hmm.. Posisi?

Mungkin tidak secara fisik, tapi saya rasa posisi yang besar terkadang membuat saya merasa superior dibandingkan orang lain. Tebalnya dompet juga terkadang membuat saya merasa begitu (astaga, nggak boleh sombong ini harusnya). Basically, the more you have, the mightier you are. Kayaknya dulu bukan sekali dua kali saya pernah “nyumpel” mulut temen pakai duit supaya saya bisa dapat apa yang saya mau, like, “Lu anterin gue jalan. Ntar gue traktir”, atau “Udah ga usah takut, ada gue yang bayar.” Ketika beli laptop pun, saya beli laptop ukuran 15 inci karena “13 inci itu kekecilan, nggak akan puas nonton film.”

giphy1

So yes, at least untuk saya sendiri, saya akui ada preoccupation with size. Tapi gini loh, di kehidupan sehari-hari sering sekali orang-orang memuja hal-hal besar. Ya itu tadi, rumahnya gede, dipuja-puja. Duitnya banyak, dipuja-puja. Ototnya gede-gede, digila-gilai. Boobs gede, di right-swipe di-like di-chat habis-habisan. Dan orang-orang mungkin berlomba-lomba untuk jadi besar juga. Why?

Sadar nggak sadar, bersandingan dengan sesuatu yang lebih besar dari kamu itu bikin kamu inferior. Apa pun aspeknya ya. Even mereka yang bisa berbesar hati menerima kekalahan pasti ada sedikit rasa inferior ketika bersandingan dengan si juara satu. Ya ini sih jujur-jujuran aja. Saya kadang minder ketika pergi dengan temen-temen yang badannya lebih gede daripada saya yang, notabene, masih sesekali dikira anak SMA. Saya masih minder dengan mereka yang repertoir musik klasiknya lebih besar. Semua orang pasti mengalami. Supaya nggak inferior, sebetulnya ada dua cara sih: berbesar hati atau be superior.

Iklan rokok itu mungkin memberi tahu para pria kalau ingin dilirik sama cewek yang lagi joging, pergilah dengan motor gede, mobil gede dan mewah, atau pamerkan dada sixpack (atau dick yang gede if you are an exhibitionist). Basically, the bigger the things you have, the more opportunities you can have in life. Meskipun saya menyadari adanya ketertarikan terhadap hal-hal besar, saya kurang setuju dengan apa yang disampaikan iklan itu. Pengemudi mobil jip besar di iklan itu badannya bahkan besar pun nggak besar-besar amat. Are you sure you can have anything you want to your big things?

giphy2

Saya nemu satu artikel mengenai rally dalam pemilu. Di artikel itu, dikatakan bahwa sebetulnya yang berpengaruh bukan ukurannya; rather, it is how it is used that matters. Ukuran memang memberikan semacam kesan tersendiri, tetapi solely relying on size aspect to determine something’s value is ridiculous. Mobil lu gede dan mevvah, but it’s useless kalau lu nggak bisa nyetir dengan bener dan taat aturan. Motor lu gede dan keren, tapi percuma kalau pakenya sembarangan dan, again, nggak taat aturan. Big money doesn’t mean a thing kalau lu nggak bisa memberikan kebahagiaan dan perhatian kepada anak dan keluarga dari diri lu sendiri, bukan dari duit atau aspek materi.

Di tengah film Titanic, ada satu scene ketika Brock Lovett mengomentari kesalahan Kapten Smith (scene ini tepat setelah adegan flying dan ciuman, lebih tepatnya ketika Rose tua kembali disorot). Ucapannya menjadi semacam kutipan yang menarik buat saya:

26 years of experience working against him. He figures anything big enough to sink the ship. They’re gonna see in time to turn, but the ship’s too big with too small a rudder. Doesn’t corner worth a damn. Everything he knows is wrong.

Pelajaran yang bisa didapat adalah sesuatu yang besar menjadi sia-sia ketika kamu nggak punya kemampuan buat mengendalikan atau menggunakannya. Yang gede belum tentu bertenaga. Punya modal bisnis gede jadi percuma kalau kamu nggak mau usaha. Jangan hanya mengandalkan besarnya aja, tapi juga tunjukkan usaha. Big ships can sink. Big buildings can collapse. Buktinya, Titanic aja tenggelam.  Cobalah tanamkan mentalitas the little engine that could. Badan kecil nggak muscular ya nggak masalah, yang penting bisa bikin anak kecil.

Inget. Dada sixpack bisa lembek. Big boobs bisa peyot, and big dicks bisa letoy.

댓글 남기기