Masyarakat Manja

Note: Topik atau bahasan ini tuh bukan yang pertama atau yang baru. Semua pasti pernah baca atau lihat. Tapi tetap ya, kalau nggak diingetin, orang-orang kadang suka lupa diri. 

 

Beberapa hari yang lalu, saya lihat lagi (which means I’ve seen it before) campaign “Tumpuk di Tengah”, which is a good thing. Dalam campaign ini, semua orang diajak untuk menumpuk piring, gelas, dan alat makan yang sudah selesai dipakai di tengah meja ketika makan di restoran. Dengan menumpuk alat makan tersebut, pelayan bisa dengan mudah mengambil semuanya. Selain itu, meja pun akan keliatan setidaknya lebih rapi, daripada ketika piring, gelas, sendok, garpu, bahkan kertas bon sampai berserakan begitu aja.

Apalagi kalau ada sisa puntung rokok dan abunya.

Beberapa minggu yang lalu, saya ke Starbucks dengan sepupu dan karena malam minggu, hampir semua meja penuh. Saya dapat satu meja kosong, tapi ternyata di atasnya masih ada sisa gelas-gelas kosong dan bon yang nggak dibuang oleh “penduduk” sebelumnya. Walhasil, saya sama sepupu harus buang sendiri gelas-gelas dan sampah yang ada sambil ngomel tentang betapa malesnya orang-orang buat buang sampah dan betapa orang-orang kayak gitu nggak punya etika.

Di sebelah kiri saya ada pasangan muda yang asyik ngobrol sambil nyeruput kopi dan main laptop. Di sebelah kanan saya, ada dua orang pria sekitar umur 30 atau 40-an, dengan tampilan kece ala eksekutif muda yang lagi ngobrolin semacam bisnis atau apa lah. Sekitar 20 menit setelahnya, dua pria itu pergi DAN MENINGGALKAN SAMPAH-SAMPAHNYA DI ATAS MEJA.

IMG_20180703_224128_593

Saya dan sepupu yang lihat itu jadi kesal lagi dengan kelakuan dua pria yang kayaknya nggak pernah diajarin etika sama orang tuanya itu. Saking kesalnya, sampai saya abadikan di Instagram Story.  Sepertinya, omelan saya dan sepupu terlalu keras sampai si pasangan muda yang duduk di sebelah kiri saya ngeliatin. I didn’t mind it. Biar mereka juga sadar bahwa sampah sendiri, tanggung jawab sendiri.

Sekitar setengah jam setelahnya, pasangan muda itu akhirnya pergi dan sebelum keluar, mereka buang sampah-sampah mereka sendiri. Kayaknya sih mereka sadar diri setelah saya dan sepupu ngomel-ngomel tentang betapa orang Indonesia ini males banget buat buang sampah sendiri atau menghargai tamu lain.

Kebiasaan saya secara pribadi kalau habis ngopi atau makan, biasanya kalau bisa saya kembaliin sendiri baki atau piring kotor, saya lakukan. Kalau tidak memungkinkan, ya pakai sistem tumpuk di tengah atau ditata sedemikian rupa lah biar seenggaknya ada the best out of the worst thing. Saya juga biasanya sering ngelap meja pakai tisu basah atau tisu kering, terutama kalau habis ngopi di Starbucks karena air yang mengembun dari gelas saya biasanya ngebasahin meja. Kasian kan kalau ada orang yang bawa laptop terus mau naro laptop di atas meja, tapi kerepotan karena mejanya basah?

Pemandangan meja yang penuh dengan piring kotor atau sampah sebetulnya sering kita lihat, bahkan di restoran-restoran yang kelasnya agak gede (kalau di fancy restaurants biasanya pelayan langsung ngambil piring makan setelah kita beres, sebelum makanan berikutnya disajikan and we can’t just tell them “Udah mas/mbak, biar saya aja yang bawa ke dapur” because.. well, it’s fine dining restaurants). Meja yang kotor kayak gitu bikin tamu jadi males atau ilfil buat makan, terutama ketika di restoran itu meja lain udah pada penuh. Dua pihak yang rugi dalam situasi ini adalah tamu yang datang dan ingin makan dan pihak restoran, kalau si tamu ini malah nggak jadi makan di sana dan pergi. Jangan tanya tentang repotnya si pelayan. Apalagi kalau mejanya bener-bener berantakan banget, sampai di atas permukaan meja ada saos ini itu lah, tulang ayam, tisu kotor, tumpahan minuman, atau abu rokok.

Sepertinya masyarakat kita ini masih manja. Emang lagi manja. Lagi pengen dimanja. Yang gini tuh nyebelin. Apalagi mereka yang udah manja, sok ganteng atau cantik.

tenor

Di Korea, sebagian besar tempat makan menyediakan semacam rak buat naro baki dan piring-piring kotor yang udah dipakai pelanggan. Nah, misalnya nih kita makan di food court. Kalau udah beres makan, piring kotor dan bakinya bisa langsung kita taro di rak itu. Nanti, hyung, nuna, ahjussi, atau ahjumma cleaning service tinggal dorong si raknya ke dapur atau area cuci.

Selain itu, di deket rak biasanya ada tempat sampah gede. Nah, misalnya nih di piring kita ada sisa tulang ayam KFC salted egg (kenapa harus itu contohnya?), sebelum piring ditaro di rak, sisa tulang ayamnya kita buang dulu ke tempat sampah besar itu. Hal ini juga berlaku buat es batu sisa, atau sisa makanan lain. Oh ya, kalau gelas minuman kayak Starbucks sih bisa langsung dibuang ke tempat sampah juga.

Nggak cuman perihal buang sampah. Kemandirian juga diterapkan dalam urusan nerima makanan. Meskipun di restoran mewah nggak berlaku, di beberapa tempat (terutama food court atau gerai makanan cepat saji), setelah kita pesan menu dan bayar, kita akan dikasih semacam device kecil. Bentuknya mirip tipe-x pita yang tinggal diseret itu, tapi ada lampu indikator dan speaker-nya. Nah, kita bisa nunggu makanan jadi sambil duduk dan bawa si device itu. Kalau makanan kita udah jadi, kasir atau pelayan bakalan pencet bel yang sesuai dengan nomor device kita, jadi device kita bergetar dan berbunyi (dan getarannya ohhh~~ sungguh nikmat). Serius itu device kalau bergetar, beneran nggak pakai bunyi bel pun udah bunyinya keras. Setelah itu, kita bisa balik ke kasir buat ambil makanan kita jadi pelayan nggak perlu repot-repot bawain.

Intinya sih, selama di Korea, saya dibiasakan dan terbiasa mandiri dalam urusan makan di restoran (kecuali di restoran-restoran tertentu yang dari sananya udah pelayan yang siapin atau bersihin). Oh ya, perihal device itu, kalau pake device itu dijamin deh makanan kita nggak bakalan sampe ketuker dan kita nggak perlu nongkrong awkward di meja kasir buat nungguin makanan, apalagi sampe banyakan dengan orang lain. Kan lebih enak nunggu di meja. Bisa sambil selfie manja lagi pengen dimanja.

tenor1

Sejauh ini, saya rasa masih belum banyak restoran atau gerai makanan cepat saji di Indonesia yang pakai device kayak gitu. Biasanya kalau ke McD, saya nunggu makanan di kasir dan di sebelah saya udah ada pelanggan lain yang lagi pesan menu. Setelah itu, saya geser sedikit karena pelanggan itu ikut ngantri nunggu makanan, dan pelanggan berikutnya giliran pesan. Beneran bisa macam ngantri sembako di depan kasir.

Yang lebih saya permasalahkan sih kelakuan orang-orang yang nggak mau mandiri itu loh. Tempat sampah udah ada. Rak baki kotor udah ada. Kenapa kayaknya hatinya beku banget buat menggerakkan badan buat buang sampah sendiri? Kalau memang keadaan tidak memungkinkan buat naro baki atau piring kotor sendiri, memangnya nggak bisa merapikan atau menata alat makan bekasnya biar lebih enak dilihat gitu? Nggak kok nggak mesti dihias pake karangan bunga dan puisi rayuan pulau kelapa. Apa mungkin karena merasa udah ada pelayan? Karena merasa udah bayar dan berhak mendapatkan layanan terbaik? Gimana kalau pelayannya sendiri repot ngurusin meja-meja lain, sementara itu ada tamu lain yang datang dan mau makan tapi meja yang kosong malah pada kotor sama sampah?

“Well I don’t give a fuck.”

Mati aja orang-orang kayak begitu.

tenor2

Masyarakat kita memang masih manja. Urusan buang sampah aja masih harus dibuangin sama orang lain. Jadi memang sepertinya untuk menjadi masyarakat maju, masih dibutuhkan waktu sekitar beberapa dekade lagi. Ya setidaknya sampai sampah-sampah masyarakat seperti itu mati dulu, dan digantikan dengan (hopefully) orang-orang yang lebih beretika.

댓글 남기기