Born (Not Hater But) Lover

Ceritanya, saya sudah jengah dengan kiriman-kiriman di linimasa Facebook.

Kiriman-kiriman yang mana?

Itu, kiriman tentang pemilihan gubernur DKI Jakarta. Kiriman-kiriman yang menjelek-jelekkan calon gubernur satu sama lain. Kiriman-kiriman tentang Habib Rizieq, tentang celotehannya, tentang apa lah yang lainnya. Kiriman-kiriman tentang Ahok. Kiriman-kiriman tentang Trump dan kebijakannya yang super goblok (well, to be, honest I despise that pug-face guy. 씨발!). Kiriman-kiriman yang memecah belah teman dan saudara. Kiriman-kiriman yang membuat panas hati. Saya sudah punya masalah sendiri, sudah punya hal-hal yang membuat pusing kepala (di Instagram atau Path biasanya beredar kiriman bertagar #pusingpalathunder, nah itu saya yang kirim). Sudah ada masalah, ditambah lihat kiriman-kiriman bodoh seperti itu. Rasanya tumpeh-tumpeh kalau boleh mengutip kata mbak Jupe.

26fpxk7lvhehammiy

Why would people do that? 

~ Do what? 

Sharing such posts? 

Political agenda, perhaps? Atau, memang kerjaan orang iseng yang tidak suka lihat situasi aman dan damai? Well, kalau tentang Trump, we know he is a motherfucker douchebag jadi kita kesampingkan topik tentang Trump dulu deh. Anyway, ada kiriman tentang Melanie Trump yang tampaknya mengalami emotional abuse di linimasa Facebook. Nah ‘kan, orang Amerika yang dukung, siapa pun itu, bego deh. Mau jadiin orang macam begitu sebagai presiden. Presiden rasis dan penjahat kelamin, you mean?

Kembali ke topik utama.

Saya percaya bahwa semua orang terlahir sebagai orang yang menerima cinta dan mencintai orang lain. Born hater? Nope. Kamu terlahir dalam keadaan polos—otaknya terutama. Then why did some people become haters? Itu karena mereka terekspos oleh hal-hal yang mengubah mereka menjadi pembenci. Hal-hal apa? Omongan orang lain, misalnya. Pengalaman pribadi, misalnya. Banyak lah faktornya. Yang saya nggak paham adalah banyak orang yang akhirnya berubah menjadi seorang pembenci, dan “semacam” mengajak/memaksa orang lain untuk sama-sama menjadi pembenci. It’s like, kalau kamu nggak sepaham sama aku, kamu musuh aku. Kalau kamu sepaham, kita sempurna. Kita paling benar.

Oh! Shut up! 

b3zpodsenmgjc

Chandler Bing disapproves this!

Saya nggak paham, terutama setelah beberapa kejadian “besar” yang terjadi, orang-orang jadi saling menyerang satu sama lain. Membenci satu sama lain. Merasa lebih hebat, lebih pandai, lebih tinggi derajatnya. Merasa paling sempurna. Berpikir bahwa mereka yang tidak sepaham, satu etnis, seagama, satu tingkat religiusitasnya adalah kaum inferior. Kaum yang berhak untuk disalahkan, dihina, dianggap kotor dan harus “dibersihkan”. Memang ada yang kayak gitu? Kok aku nggak pernah denger beritanya? Ada! Kamu nggak dengar beritanya atau kamu nggak mau tahu?

Hei! Permainan politik ini merusak kedamaian dan ketenangan hidup banyak orang! Apa lagi ya? Entahlah. Saya muak lihat kiriman yang mewakili agama A, menjatuhkan agama B. Di sisi lain, saya juga jengah dengan kriiman yang mewakili agama B, menyudutkan agama A. Saya jengah ketika ada kiriman tentang etnis X itu harus dibasmi. Saya juga jengah ketika etnis Y dianggap sebagai pembuat onar. Kalian-kalian pembuat dan penyebar kiriman-kiriman seperti itulah yang menurut saya harus dibasmi! Kalian yang membuat negara ini mundur peradabannya, sama parahnya dengan sinetron-sinetron di stasiun R, I, dan konco-koncone! Kalian inilah pain in the ass Indonesia, orang-orang yang punyanya mulut gede, tetapi nggak bisa (atau mungkin nggak mau) kasih kontribusi yang bisa memajukan negara. Saya sendiri belum bisa buat kontribusi besar, tapi setidaknya saya ingin berkontribusi dengan tidak menyebar kebencian di antara sesama.

Apakah saya punya preferensi? Punya. Semua orang punya.

Tetapi preferensi itu tidak lantas membuat saya merasa bahwa saya lebih baik dari orang lain. Apa yang saya idolakan tidak sempurna. Prinsip atau pola pikir saya tidak sempurna. Pasti selalu ada aspek-aspek tertentu yang lebih baik dan dimiliki oleh orang lain. Di sisi lain, saya mungkin lebih baik pada aspek-aspek tertentu daripada orang lain. Sadar diri, lah! Kalian nggak sempurna! Nggak malu sama Tuhan? Seingat saya, Tuhan tidak mengajarkan kita untuk saling membenci dan menyebar kebencian. Stop sharing and posting such shits!

sieklox8mli0u

Silakan mengidolakan dia, dia, dia atau siapa pun. Silakan merasa tidak suka kepada dia, dia, dia, atau siapa pun. Rasa suka dan rasa benci adalah hal yang terkadang muncul begitu saja, tanpa bisa kita kendalikan. Tapi tolong, be a good person. Don’t be an asshole. Kamu tidak suka sama si A, ya sudah, tidak usah memperpanjang masalah, unless dia berbuat sesuatu yang secara personal merugikan kamu. Kamu suka sama si B? Silakan, asal kamu tidak lantas membenci mereka yang tidak suka dengan si B. Kalau kamu punya masalah dengan seseorang, selesaikan dengan baik, dengan bijak, dengan dewasa, bukan dengan menyebar fitnah atau semacamnya.

Itulah mengapa saya benci dengan fanatisme dan orang-orang fanatik.

Fanatisme dalam aspek apa pun merupakan hal yang menyebalkan, termasuk fanatisme agama. Agama? Wah, kamu tidak membela agama! Blasphemy! Kamu masuk neraka! Kamu auto-kafir!

See? Even sekarang orang bisa dengan mudahnya memanggil orang lain kafir. Tahu hukumnya menyebut sesama Muslim kafir? Tahu nggak? Kalau nggak tahu, belajar agama lagi! Saya aja tahu! Masa kalah sama oppa yang nggak ada tampang-tampang ustadz atau ulamanya begini?

Anyway, definisi membela agama itu apa sih? Membenci orang lain?

Udah atuh udah, kasus yang kemarin itu sudahlah biar pihak berwenang yang selesaikan. Kalau perlu tersangkanya meminta maaf atau mengambil tindakan, ya saya sih merasanya dia memang harus mengambil tindakan. Kasarnya gini, ‘kan ada hukum, ya ikuti hukumnya. Jangan brutal gitu deh. Situ lagi main Mortal Kombat?

Tuhan ingin umatnya saling mencintai dan menyayangi satu sama lain. Urusan berperang itu beda, ya. Kalau sekarang sudah saling melempar fitnah dan menebar benci, ini nggak bisa dibilang “Kita ‘kan sedang berperang melawan kejahatan!” Apaan itu sih waduk. Ada loh orang yang semacam menyerang orang lain yang tidak bersalah dengan alasan sedang “berperang”. Waduk ah waduk, sia belajar agama dari mana sih? Yang ada macam begitu itu menyebar kebencian.

Fanatisme dengan figur politik juga menyebalkan. Ya, pokoknya fanatisme itu sering kali berujung pada bigotry. Kalau sudah jadi bigot, sudah susah diubahnya. Macam, mengubah bubur menjadi nasi goreng. Yang ada jadi bubur goreng. Becek gitu ‘kan ya asa geuleuh jadinya. Mana nantinya harideung.

Sekarang bingung ‘kan kok muka oppa ngomong Sunda?

Ah, sudah lah pusing. Celetukan ini nggak berbobot kok.

Sekarang sih share love, not hate aja.

do-15

I love you, people. 사랑해, 여러분! 

“FYI, Jadi Translator Itu Gak Segampang Copy-Paste di Google Translate!”

Saya sering ditanya orang lain tentang pekerjaan dan ketika saya jawab, “Saya kerja sebagai translator,” komentar mereka adalah “Wah, asyik ya jadi translator.” Ya, kerja sebagai penerjemah memang asyik, tapi untuk bisa bertahan di dunia penerjemahan, usahanya tidak kalah besar dengan mereka-mereka yang harus bertahan di dunia entertainment. Perjuangan kami para penerjemah tidak kalah berat dengan perjuangan para trainee yang ingin menjadi idol. Even idol ternama pun harus berjuang agar bisa bertahan di dunia per-idol-an, begitu pula para penerjemah senior. Serius. The struggle is real.

Hal yang paling menyebalkan adalah ketika orang lain bisa dengan mudahnya bilang atau berkomentar, “Jadi translator mah enak, dong. Tinggal copy-paste ke Google Translate juga beres.” 

Rasanya ingin bom itu orang. I mean it.

26ueyt2fqr2a8jfso

Saya pernah ngobrol dengan seorang teman, dan saat itu dia mengundang saya ke semacam acara perkumpulan hobi. Saya jelaskan bahwa saya tidak bisa pergi karena tugas penerjemahan masih menupuk. Dia lantas dengan mudahnya bilang bahwa saya hanya perlu copy-paste pekerjaan ke Google Translate. Saya (dengan sabar) mencoba menjelaskan bahwa proses penerjemahan tidak semudah itu karena saya, sebagai penerjemah, harus bisa memastikan kualitas penerjemahan yang dibuat. Tetapi, sayangnya orang ini memang antara tidak paham dengan proses penerjemahan atau sengaja menyepelekan pekerjaan saya, dan lantas membandingkan pekerjaan saya dengan pekerjaan lain yang sifatnya lebih physical.

“Lebih capek gue loh. Gue ‘kan kerja di bidang _____________, gue harus pergi ke sana sini, di luar ruangan, begadang sampai malam. Kalau lu ‘kan modal laptop, internet, sama otak doang, masih gampang lah.”

iygwsovjz1etk

You deserve to die that way, dude.

Jadi, dengan tulisan ini, saya berharap bisa memberikan gambaran tentang proses penerjemahan dan perjuangan yang harus saya—atau kami, para penerjemah—lalui supaya bisa bertahan di dunia persilatan bahasa ini.

Seperti halnya bidang pekerjaan lain, saya juga harus punya bekal pengetahuan yang mumpuni untuk bisa menerjemahkan. Modal bahasa Inggris saja belum cukup; saya harus belajar kriteria penerjemahan yang baik, teori dan strategi penerjemahan, dan lain-lain. Saya juga harus tahu dan mempelajari technical terms ketika saya menerjemahkan teks dengan topik-topik tertentu, seperti kesehatan, musik, atau semacamnya. Hal ini semakin sulit ketika penerjemah harus menerjemahkan artikel dengan topik keuangan, otomotif, permesinan, dan hukum. Istilah-istilah mereka terkadang belum ada padanan katanya di Indonesia dan, kalau pun ada, tidak selalu diketahui semua orang. Translation itu bukan sebatas mengubah kalimat dari bahasa sumber ke bahasa target; ada beberapa—dan banyak hal—yang perlu dipertimbangkan dalam prosesnya, dan prosesnya tidak semudah copy-paste teks ke Google Translate.

Beberapa orang bahkan sampai melanjutkan studi yang berfokus di bidang penerjemahan. Ini artinya, jadi penerjemah itu tidak bisa modal jago ngomong atau nulis dalam bahasa Inggris. Translation itu ‘kan proses transferring makna teks atau wacana dari bahasa sumber ke bahasa target, dan makna di situ tidak terpaku pada makna literal saja; yang namanya berkomunikasi, kita pasti memasukkan makna-makn lain beyond the literal meanings, ‘kan? Nah, penerjemah juga harus bisa menyampaikan makna-makna tersebut dalam terjemahan yang dibuat. Belum lagi ketika harus bergulat dengan aspek budaya, penerjemah harus pintar menggunakan strategi penerjemahan ketika menerjemahkan cultural items dari bahasa sumber ke bahasa target. Ketika kamu menerjemahkan teks yang di dalamnya terdapat frasa, misalnya, “bread and wine“, untuk pembaca yang tinggal di daerah terpencil yang sama sekali tidak mengenal istilah wine, apakah istilah tersebut akan tetap dipakai?

Nah, you either describe what wine is or change the word “wine” into something—an item equivalent to the target culture.

Anyway, terjemahan juga akan terasa lebih baik (at least bagi saya) jika mengandung unsur edukatif bagi pembacanya. Misalnya, dalam kasus “bread and wine” di atas, saya mungkin ingin menjelaskan apa itu wine dalam bahasa target agar pembaca mengetahui tentang wine.

Sebagai tambahan, ketika saya menerjemahkan artikel bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, tidak hanya kemampuan tata bahasa Inggris saja yang harus saya pahami atau kuasai, tetapi juga tata bahasa Indonesia. You think Indonesian grammar is easy, huh?

1. Which one has the correct spelling?
a. Terperinci
b. Teperinci

2. Which one has the wrong spelling? 
a. Di atas
b. Diatas

3. How do you say “exit” in Indonesian?
a. Keluar
b. Ke luar

4. Which sentence has the correct spelling? 
a. Dia menyontek ketika ujian berlangsung.
b. Dia mencontek ketika ujian berlangsung.

Jawaban akan saya berikan di akhir tulisan.

source

Jadi agak ujian begini ya? 아.. 에라 모르겠다!

Kembali lagi ke isu yang sebenarnya.

Untuk menjadi penerjemah (yang baik), saya tidak hanya harus memahami teori dan strategi, tetapi juga menjaga kualitas dan menyampaikan makna dari teks sumber ke bahasa target, termasuk makna-makna di atas makna literal. Meskipun tidak semua orang secara formal mempelajari teori dan strategi seperti saya (karena di perkuliahan dulu saya pernah belajar tentang teori dan strategi penerjemahan), pada dasarnya para penerjemah harus memahami konsepnya. Belum lagi dengan istilah-istilah bidang khusus yang harus dipahami. Ya, dari sisi akademik, jadi penerjemah itu modalnya besar, bukan sebatas jago ngomong dan nulis.

Hal lain yang membuat saya merasa bahwa jadi penerjemah tidak gampang adalah prosesnya. Bagi beberapa orang, translation mungkin dianggap sebagai pekerjaan yang pasif; tidak perlu banyak gerak, cukup modal otak saja (dan tangan untuk mengetik atau menulis). Sadly, sebenarnya tidak seperti itu. Tekanan deadline, tanggung jawab untuk mempertahankan kualitas terjemahan, tingkat kerumitan teks, dan rasa jenuh merupakan musuh utama saya (at least untuk saya yang mudah teralihkan perhatiannya). Bukan sekali dua kali saya menerjemahkan sampai larut malam dan hanya tidur selama 3 atau 4 jam saja; I can even say that I sleep for only 4 hours every night. Saya bangun pagi hari, lalu sarapan dan mengerjakan hal-hal lain sebelum akhirnya kembali menerjemahkan artikel. Selain bekerja  untuk wikiHow Indonesia, saya juga bekerja sebagai freelance translator yang menerima “pesanan” dari orang lain. Ketika ada pesanan dari orang lain, tanggung jawab saya semakin besar. Deadline pun semakin mepet. Terkadang, saya harus merelakan hari libur atau liburan keluarga untuk menyelesaikan kerjaan. Ya, bukan hanya pegawai kantoran saja loh yang lembur; saya pun lembur. Lelah batin? Ya. Lelah fisik? Sudah pasti. Setiap kali datang ke massage parlor, sang masseur selalu bertanya, “Mas, banyak begadang ya? Bahu sama lehernya kaku banget. Pasti kelamaan kerja di depan komputer.”

You know me so well.

source1

Saya beberapa kali melewati fase jenuh. Jenuh, sejenuh-jenuhnya orang dengan pekerjaannya atau banalitas kehidupannya. Bahkan sebelum saya berlibur pun, saya harus menyelesaikan pekerjaan yang “diborong” agar jatah pemasukan saya selama liburan sudah bisa “ditarik” sejak awal. Katakanlah, misalnya, dalam satu minggu saya menghasilkan 700 ribu karena satu hari saya menghasilkan 100 ribu. Ketika saya ingin berlibur selama 6 hari, saya harus tarik kerjaan dengan bayaran 600 ribu ke satu hari sebelum saya pergi berlibur. Itu artinya, kerjaan satu minggu harus saya selesaikan dalam satu hari, atau—setidaknya kalau liburan sudah direncanakan sejak awal—satu minggu sebelum berlibur. Dengan begini, saya bisa tetap mendapatkan penghasilan satu minggu meskipun saya berlibur. Capek? Pastinya.

“Ah, kita juga ngalamin hal yang sama, kok!”

Kalau mengalami hal yang sama, kenapa tidak bisa berempati pada saya, atau kami, para penerjemah? Apa karena pekerjaan kami bisa dilakukan cukup dengan duduk dan mengetik, dan memutar otak? Capek loh kerja begini juga. Mungkin kamu bisa berkomentar seperti itu karena belum pernah mencoba menerjemahkan teks.

Dare to try? Saya kasih sampel teks standar yang biasa saya terjemahkan, and you have to finish it within 2 days. Kalau berani, feel free to contact me, ya.

Oh ya, karena di perusahaan saya ada proofreaders yang setia memeriksa dan memberi skor hasil terjemahan, saya harus berusaha mati-matian agar skor saya tidak anjlok. Caranya? By producing good quality translation. Kalau kamu punya pola pikir bahwa dengan copy-paste ke Google Translate kamu bisa dapat skor bagus atau menghasilkan terjemahan berkualitas, belum satu minggu kamu sudah bisa ditendang dari perusahaan. Seriously. Pernah lihat post seorang pengguna Facebook—remaja perempuan alay—yang menulis status dalam bahasa Inggris, dan ternyata teksnya merupakan hasil terjemahan Google Translate? Next river I won’t forgive you, begitu katanya. Lain kali saya tidak akan memaafkan kamu. Lain kali.

Next river.

NEXT RIVER!

NEXT RIVER! 

NEXT RIVER!

Takdirnya RIVER! 

g1rkamvondmqq

Aduh, maaf JKT48. Gif yang dipakai malah gif AKB48.

Terkait dengan bidang lain, saya paling kesal ketika orang sudah membandingkan tingkat kesulitan pekerjaannya. Saya percaya bahwa setiap pekerjaan punya standar kesulitannya masing-masing dan setiap pekerjaan memiliki karakteristik yang berbeda. This means kamu tidak bisa begitu saja menyamakan standar kerumitan translation dengan standar bidang lain. It’s unfair when my big brother once said that kerjaan saya itu belum seberapa kalau dibandingkan dengan dia, as an architect, yang kerja lapangan dan harus lelah fisik setiap hari. Tidak adil. Itu seperti menentukan siapa yang lebih jago memanjat pohon, antara ikan dan simpanse.

Setiap orang sudah punya “bagian” masing-masing. Jangan disamakan, lah.

Lagi, I dare you to translate an article. Standar artikelnya sama dengan standar yang saya biasa terjemahkan untuk wikiHow (teks prosedural). Kalau kamu berani dan bisa menghasilkan terjemahan yang berkualitas, payment untuk artikel itu buat kamu (mis. kalau artikel yang saya kasih ternyata dihargai 8 dolar, nah uangnya buat kamu kalau memang kualitas terjemahanmu bagus). Nanti saya akan minta dua orang teman yang sama-sama bekerja di bidang penerjemahan untuk menilai kualitas penerjemahan kamu. Kalau memungkinkan, saya juga akan kasih lihat penilaiannya supaya jadi bahan masukan untukmu. Contact me on Facebook if you’re up to the challenge!

I dare you. I mean it.

Hal terakhir yang saya sayangkan adalah pandangan orang tentang biaya jasa penerjemahan. If you are the one who still kasih bayaran cap nuhun setelah minta orang lain menerjemahkan abstrak, jurnal, atau sumber akademik apa pun, seriously, grow up! Unless I stated it from the beginning that I’m going to do it voluntarily for you, jangan pernah berharap bahwa saya bisa menerima cap nuhun begitu saja. Hell no! Coba baca acuan tarif penerjemahan dari Himpunan Penerjemah Indonesia. Apakah di situ tertera “cap nuhun”? Nah, people, you don’t see it, do you? You see numbers instead.

Saya tahu diri. Saya belum mematok tarif setinggi itu (tarif maksimal per halaman belum mencapai 152 ribu rupiah, terutama untuk teks-teks ekstra ringan). Kemampuan penerjemahan saya memang belum sehebat senior-senior saya di tempat kerja atau dosen saya. Ditambah lagi, saya juga tidak banyak memahami technical terms untuk bidang-bidang tertentu, seperti kedokteran, hukum, atau permesinan. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa saya menerjemahkan secara asal-asalan. Nah, dude! Ada kriteria dan kode etik yang harus saya ikuti. Teman ya teman. Bisnis ya bisnis. Mungkin lebih tepatnya, play professionally. Balik lagi, kecuali saya sejak awal sudah bilang akan bantu sukarela, saya tidak menerima “cap nuhun” sebagai bayaran.

“Lah, kalau belum jadi penerjemah professional, ya jangan sok-sokan matok tarif mahal dong!”

Kalau aturan mainmu begitu, saya juga berhak dong membuat terjemahan yang disesuaikan dengan tarif yang kamu tentukan. Yes, sweetheart! You give me 20, I’mma give you 20. You gimme 100, I’mma give you 100. Sayangnya, aturan main seperti itu membuat saya harus melanggar kode etik, which I despise. Jadi, biasanya saya tidak terima tawaran penerjemahan seperti itu. Siapa sih yang nyaman bekerja setengah hati?

Saya mohon baca acuan tarif penerjemahan yang saya berikan di atas dalam bentuk tautan. Baca juga informasi format teksnya.

Mohon jangan samakan standar kesulitan teks kami dengan standar kesulitan bidang pekerjaan kalian yang berbeda. Jangan anggap penerjemahan sebagai pekerjaan yang mudah, yang bisa dilakukan dengan copy-paste ke mesin penerjemah daring. Jangan bandingkan kami dengan bidang-bidang lain yang lebih menggunakan fisik; we sometimes have to work our ass day and night to produce good quality translation. Some of us sacrifice what we call as “liburan berkualitas.” 

Cobalah berempati. Would you? Kita sama-sama cari duit, loh.

Jawaban soal:

1. Which one has the correct spelling?
a. Terperinci
b. Teperinci
(Kata dasar dari “terperinci” adalah “perinci”)

2. Which one has the wrong spelling? 
a. Di atas
b. Diatas
(Preposisi dan kata benda harus dipisahkan dengan spasi)

3. How do you say “exit” in Indonesian?
a. Keluar
b. Ke luar
(“Keluar” adalah kata kerja/verba, dan “ke luar” adalah preposisi) 

4. Which sentence has the correct spelling? 
a. Dia menyontek ketika ujian berlangsung.
b. Dia mencontek ketika ujian berlangsung.
(Kata dasar baku dari “menyontek” adalah “sontek” karena “contek” adalah bentuk/ejaan tidak baku)

Chocolate over Coffee

Saya selalu merasa bahwa cokelat lebih enak daripada kopi. I mean, minumannya. Mungkin karena waktu kecil saya pernah punya semacam alergi terhadap cokelat yang membuat kulit di sekitar bibir saya kering setiap kali saya makan cokelat. Untungnya, alergi itu hilang seiring saya bertambah dewasa. Mungkin karena semasa kecil konsumsi cokelat saya sangat dibatasi, setelah besar saya jadi lebih suka cokelat daripada kopi (when I was kid—for the record—my mom would substitute coffee for chocolate for me and she would scold me whenever she found out I ate ‘too much’ chocolate). Walhasil, selamat tinggal Pepero cokelat! Selamat datang, biskuit kopi! 근데 나 초코릿 커피보다 더 좋아했다. 진짜 더 좋아했다.

ijc6vqnoxxvpo

And I didn’t really like coffee. Nah, I don’t really like it. 

Sebagai penggemar cokelat, saya selalu mencari produk cokelat, baik camilan atau pun minuman yang bisa memenuhi kebutuhan lidah saya. Even lidah pun punya kebutuhan. Ya, kebutuhan untuk mengecap kombinasi rasa yang seimbang dan sempurna. Bicara urusan cokelat, saya orangnya cukup rewel kalau beli atau pesan something chocolatey, terutama minuman. Bukan sekali dua kali saya dan teman pergi ke restoran atau kafe, lalu saya pesan minuman cokelat dan setelah satu dua tegukan, saya bisa bilang “Ini cokelatnya pakai cokelat merek X” atau “This is not chocolate drink; this is chocolate milk because this is, actually, milk, not chocolate drink“.

Saya paling kecewa ketika ada menu yang bertajuk “Iced chocolate” atau “Hot chocolate”, tetapi ternyata itu adalah susu cokelat atau—yang paling parah—susu kental manis cokelat (I won’t tell you the name but there’s a place, nah, some places in Bandung that sell susu kental manis cokelat as either hot or iced “chocolate drink”). Secara logika, memang minuman itu rasanya cokelat, tetapi that’s not real chocolate drink. I want the real one. Saya kecewa, saya merasa ditipu, saya sedih.

I should not post another “crying” gif.

Sejauh ini, saya cukup menikmati minuman cokelat yang dijual di Starbucks, meskipun memang dari segi harga banyak tempat lain yang menawarkan harga yang lebih murah, dengan citarasa yang tidak kalah lezat dengan minuman cokelat buatan Starbucks. Sayangnya, sebagai orang yang tidak bisa ke Starbucks setiap hari (karena saya biasa kerja dari rumah), untuk memenuhi hasrat minum cokelat, saya harus buat sendiri minumannya. Dulu, waktu saya masih SMA sampai kuliah semester 6, saya biasa meracik sendiri minuman cokelat. Resepnya kalau tidak salah pernah saya bagikan di Facebook (I might have to check it later). Setelah saya kerja dan kurang tidur, saya jadi agak malas meracik sendiri sehingga saya jatuhnya lebih sering pakai produk langsung jadi. Untuk racikan sendiri, biasanya saya pakai bubuk kakao yang biasa dijual di supermarket atau minimarket (tahu ‘kan mereknya? Itu loh itu yang merek nama Belanda). Saya juga sempat coba beberapa produk bubuk kakao dari merek lain dan harus diakui bahwa beberapa produk ternyata punya rasa dan aroma yang jatuhnya sama (setelah saya cek, ternyata pabriknya—produsennya sama; yang beda hanya merek dan pangsa pasar saja toh). Ada beberapa merek lain yang jadi pilihan alternatif, misalnya BT Java Cocoa yang menawarkan beberapa pilihan, yaitu classic, dark, dan gold (yang terakhir ini belum saya coba). Karena produk yang digunakan adalah bubuk kakao asli tanpa gula, saya harus pintar-pintar buat takaran gula, krimer, dan bahan-bahan rahasia lainnya. Keuntungan dari meracik sendiri minuman cokelat adalah saya bisa customize rasa dan aroma minuman sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya, kalau saya sedang serius, saya cenderung ingin rasa yang lebih kuat dan pahit, jadi bisa dikurangi bahan lain (misalnya, krimer). Ketika saya ingin minuman cokelat yang lebih ringan, saya bisa kurangi takaran cokelat dan menambahkan lebih banyak krimer, dan juga bahan perasa tambahan seperti esens almon, hazelnut, atau mint. Kekurangannya? Ya, malasnya itu loh. Malas buat takaran. Malas melewati proses persiapan yang lebih lama.

iyculpol7ntkg

Untuk produk bubuk minuman cokelat siap pakai, saya biasanya beli Cadburry atau Delfi. Saya pernah coba juga produknya Schoko, tetapi jatuhnya saya lebih suka “nambulin” bubuknya (like, you dip your finger into the chocolate powder and lick over it). Sebenarnya, ada satu produk yang saya suka (dan sejauh ini merupakan kesukaan “the best”), hanya saja tidak dijual di Indonesia. Merek produknya Viskonsep dan yang dijual tidak hanya bubuk minuman cokelat saja; ada juga cokelat-cokelat batangan yang biasa dibeli sebagai oleh-oleh. Produk ini tidak dijual di Indonesia; you gotta go to  Singapore to buy it (or Malaysia as well, perhaps?). Sejauh ini saya tidak dapat informasi penjualan produk tersebut di Indonesia sehingga satu-satunya cara untuk mendapatkannya adalah dengan ke Singapura, atau shipping ke Indonesia (dan itu pun saya belum dapat infonya). Produk tersebut dijual dalam kemasan yang besar (semacam kemasan Milo ukuran 600 gram, eh, atau 1 kilogram ya?). Produk itu memang sudah ditambahkan gula, tetapi menurut saya takaran gula, cokelat, dan krimernya sangat pas! Sejauh ini, produk bubuk minuman cokelat Viskonsep adalah produk kesukaan saya nomer satu karena di Indonesia, saya masih belum mendapatkan saingan si Viskonsep ini (kalau bandingkan Cadburry dan Delfi ‘kan rasanya seperti membandingkan Van Houten dan Windmollen, tidak ada beda jauh). Seingat saya, ada dua varian yang dibedakan oleh warna, merah dan hijau, tetapi yang saya suka adalah varian dark chocolate. Tingkat manisnya sudah pas—the one I call “perfectly bittersweet”. Takaran krimernya juga sudah pas. Kekurangannya ya satu sih sebetulnya: di Indonesia tidak ada yang jual!

onlorrahqh5ky

By the way, saya sepertinya belum jelaskan alasan mengapa saya lebih suka cokelat daripada kopi. Mungkin alasan yang bisa saya jelaskan adalah saya mencari minuman yang kuat, tetapi juga lembut (loh?). Well, it’s like coffee is the strongest and tea is the lightest, and chocolate is the one between them. Di satu sisi, cokelat panas memang punya rasa yang kuat, tetapi tidak sekuat kopi (and still, it allows me to sleep at night). Di sisi lain, cokelat panas juga relatif ringan dan lembut, tetapi tidak seringan teh. It’s like partying hard yet remembering that you still need a perfect, peaceful goodnight sleep. Pokoknya, kalau mau tawari saya minuman, terutama di cuaca dingin, kasih saja cokelat panas. I’d be honored to have it.

Selain minuman cokelat, saya juga penggemar camilan cokelat, termasuk cokelat batangan. Pada kenyataannya, saya memang jatuhnya sering beli cokelat semacam Kit Kat, tetapi ketika saya sedang “serius”, saya akan cari cokelat yang memang cokelat. You know what I mean, ‘kan? Di Korea, Lotte memproduksi cokelat dengan nama Dream Cacao. Yang saya suka dari produk ini adalah persentase cokelatnya. Dream Cacao punya dua varian: 56% dan 72%, and I would go with the 72% one. Selain itu, Dream Cacao juga dikemas dalam dua jenis, cokelat batangan dan botol. Kalau yang botol, cokelatnya berbentuk kubus kecil (mirip dadu) dalam botol yang mirip dengan botol permen Xylithol. Di Indonesia, saya tidak tahu apakah produk ini dijual (mungkin dijual tapi harus cari di supermarket besar yang menjual produk impor, terutama dari Korea). Saya sendiri beli di Korea,  atau dikasih oleh teman yang balik lagi ke Indonesia setelah pulang ke Korea, dan biasanya saya beli banyak karena malas cari di Indonesia (atau shipping).

dream-group

Lindt juga punya produk dark chocolate dengan persentase yang tinggi (tertinggi yang saya pernah lihat adalah 99%). Produk ini “dirilis” dalam line Lindt Excellence. Selama ini di Bandung, produk Lindt dengan persentase cokelat tertinggi yang bisa saya temui adalah 70% (dilabeli Noir Intense atau Smooth Dark). Saya sudah coba beli dan rasanya cukup kuat, mirip-mirip dengan Dream Cacao 72% (bedanya hanya 2%). Hanya saja, secara pribadi saya lebih suka Dream Cacao karena produk dibuat dalam bentuk kubus kecil-kecil, bukan batangan, jadi lebih bite-size. Kemasannya juga lebih convenient karena cokelat dengan persentase sebesar itu, bahkan untuk saya, tidak bisa langsung dihabiskan begitu saja. Kalau Lindt ‘kan bentuknya batangan, jadi ketika tidak habis dan mau dimakan lagi, bungkusnya sudah terbuka dan cokelatnya kena udara. Kalau Dream Cacao, karena kemasannya botol jadi kemungkinan cokelat terpapar udara lebih sedikit (walaupun ada produk Dream Cacao yang bentuknya batangan).

lindt-excellence-70-cocoa-chocolate-bar-p117-99_zoom

Bicara tentang Lindt, ada satu produk lagi yang saya suka, yaitu praline-nya. Pacar saya pernah membelikan dua boks Praline du Confiseur untuk dihabiskan bersama. Dua boks! Yang saya suka ada ragam dan bentuknya. Makan praline Lindt rasanya seperti naik kasta. Rasanya seperti berkelas karena sehari-hari, saya hanyalah rakyat biasa ㅠ.ㅠ

pralin_s-du-confiseur-1000g_ppenweb

Saya hanya bisa beli ketika ada diskon saja ㅠ.ㅠ

Beda bentuk, beda juga rasanya.

135971667359_3028Pilihan yang paling saya suka adalah rond de pistacemacchiato, dan creme aux noisettes. Sayangnya, dalam satu pak tidak semua pilihan tersedia; sepertinya untung-untungan dapatnya.

Kok malah jadi bicara tentang cokelat ini?

Anyway, topik utama tulisan ini adalah cokelat, tetapi mari kita kembali ke pembicaraan tentang chocolate over coffee. Ya, the bottomline is I prefer chocolate to coffee. Alasannya sudah dijelaskan di atas. Bagi saya, cokelat panas adalah minuman terbaik di cuaca panas, dan es cokelat adalah minuman manis nan menyegarkan di cuaca panas (tetapi kalau ditawari fruity beer, saya lebih pilih fruity beer sebetulnya). Cokelat punya aroma dan rasa yang khas, seperti halnya kopi dan teh. Hanya saja, yang saya suka dari cokelat adalah “kesederhanaannya”. Saya akan coba kaitkan fenomena kedai kopi dengan cokelat. Di kota-kota besar di dunia, kedai kopi bermunculan di sana sini. Di Bandung, kedai kopi, dari mulai chain besar seperti Starbucks sampai kedai-kedai kopi kecil dengan desain interior kafe yang—hampir semuanya—sama, banyak bermunculan di sana sini dan menawarkan pilihan menu kopi dengan pilihan kopi yang beragam. Orang-orang yang awalnya tidak suka ngopi, pada akhirnya jadi suka kopi. Kopi dan rokok, katanya perpaduan yang pas, but unfortunately I don’t drink coffee and I dont’ smoke. Di Seoul sendiri, kedai kopi itu bisa saling bersebelahan. Let’s say, di ujung jalan ada Starbucks. Di sebelahnya ada Ediya. Di sampingnya ada Twosome. Di sampingnya Twosome ada Mangosix. Di seberang Mangosix ada Bene. Bahkan, di Insa-dong, ada dua gerai Starbucks yang letaknya berdekatan dan berseberangan. Bedanya, yang satu memasang plang “Starbucks” dalam huruf romawi, sementara yang satunya memasang plang “스타벅스” dalam hangul.

Di tengah-tengah euforia dan meriahnya dunia perkopian dan ngopi, istilah “ngopi” untuk saya mengacu pada pergi ke kedai kopi, memesan minuman cokelat atau teh, lalu duduk sambil baca atau sekadar ngobrol dengan teman atau kakak. Ya, saya pesan minuman cokelat atau teh, bukan kopi. Istilahnya sebetulnya harus jadi “nyoklat” atau “ngeteh”, instead of “ngopi”. Ketika orang lain asyik menikmati kopi dan bicara panjang lebar tentang kopi, roasting, dan semacamnya, saya masih asyik menikmati cokelat. Ya, cokelat. Katanya, kopi itu minuman para seniman, pemikir, filsuf, atau theorist. Teh itu minuman aristokrat (katanya) and you’re gonna look or sound like a British if you have a cuppa in the afternoon or luncheon.

Bagaimana dengan cokelat?

Entahlah. Saya merasa bahwa cokelat merepresentasikan seseorang yang unik; someone romantic, sweet yet powerful. Intens, tetapi di satu sisi menenangkan. Sederhana, tapi berkelas. Cokelat bagi saya adalah tipe nice guy/girl. Bukan hero/heroine, tetapi sidekick yang “nggak ada lo nggak rame”. Cokelat tidak pernah sarkastik, tetapi sewaktu-waktu bisa mengejutkan. Cokelat itu pahit, tetapi kemudian memanjakan lidah dengan sentuhan manis. Cokelat itu lebih versatile. Cokelat itu lebih santai, tetapi tidak kebablasan.

I can say that I’m a chocolate person. 

nfndxqjesu5fw

Cuaca sudah mulai hujan lagi. It’s a good time to enjoy a cup of hot chocolate.

 

Warkop dan Prahara

Sudah lama saya nggak menulis di blog. Kemarin ini memang sedang sibuk dan ada satu dan beberapa hal yang tidak bisa dihindari. Sebetulnya agak sebal sih karena lama tidak menulis, padahal seperti yang teh Irene bilang kalau saya ada unek-unek atau pikiran yang mengganggu, baiknya dicurahkan dalam bentuk tulisan. Ditambah lagi, setiap kali ingin menulis tuh ada aja halangannya. Urusan kerjaan lah, urusan teman atau kerabat yang bermasalah, atau bahkan hal-hal sepele lainnya seperti keburu ngantuk dan sebagainya. Keburu ngantuk memang masuk hal sepele ya? Ah teuing lah kumaha maneh.

Tulisan ini saya buat setelah membaca salah satu artikel di Kompasiana. Kalau mau baca, bisa klik tautan ini. Penulisnya mengkritisi film Warkop Reborn yang, menurutnya, menipu penonton. Menurut penulis, apa yang ditampilkan di trailer tidak sesuai dengan apa yang ditampilkan di film aslinya. Dalam hal ini, adegan-adegan berbau seks di film tidak dicantumkan dalam trailer sehingga ia–sebagai penonton merasa tertipu. Saya membaca artikel itu sampai selesai dan setelah selesai membaca, saya hanya bisa nyengir kecut.

Ada beberapa hal yang bisa saya tanggapi.

Pertama, setahu saya trailer film memang tidak menunjukkan semua adegan. Ya iyalah namanya juga trailer. Sejauh ini belum pernah saya lihat trailer film durasinya satu jam. Trailer fungsinya hanya menceritakan pengenalan tokoh dan masalah yang dihadapi tokoh, tapi tidak sampai menceritakan dengan gamblang klimaks dan kesimpulan cerita. Ya kalau dikasih lihat semua ngapain penonton buang-buang duit ke bioskop? Toh udah tahu ceritanya seperti apa. Anyway, tentang nggak ditampilkannya adegan berbau seks di trailer, jangankan film Indonesia, film luar negeri aja nggak semuanya menampilkan adegan begitu di trailer (kecuali Fifty Shades of Grey dan kawan-kawannya). Ada trailer yang menampilkan adegan panas dalam film, ada juga yang nggak. Kalau nggak ada? Ya namanya juga trailer, ‘kan ga semua ditampilkan. Urusan scene apa yang masuk atau nggak ke trailer, ya itu urusan pembuat trailer. Kok malah marah kalau scene yang diharapkan ternyata tidak ada di trailer?

Kedua, pada paragraf pertama kalimat pertama, penulis mengatakan bahwa “Hari ini saya nonton film Warkop Reborn di Plaza Cibubur, Bekasi, mengajak istri serta kedua anak saya 9 tahun dan 5 tahun…” Hal unik justru bisa saya lihat di paragraf kedua:

“Saya lihat di studio bioskop, film itu konsumsi untuk usia 13 tahun ke atas, tapi masak nonton film Komedi sendiri atau hanya sama istri KAN NGGAK SERU, sementara anak-anak yang sudah merengek-rengek nggak diajak. Apalagi beberapa waktu lalu anak-anak juga ketemu om Indro dan mas Anggy, yang mendalangi film ini. Sumpah, saya tidak ada pikiran film ini akan dibumbui adegan porno.Di samping itu, penonton saat itu mayoritas dibawah 13 tahun. Saya yakin jumlah anak dibawah 13 tahun yang menyaksikan film ini sangat banyak. Apalagi pihak gedung bisokop cenderung membiarkan anak dibawah umur boleh masuk.”

Source: http://www.kompasiana.com/dudunhamdalah/warkop-reborn-penonton-tertipu-trailernya-sopan-filmnya-ada-pesan-pornografi_57d9519a2b7a6100476247bd

Keliatan nggak anehnya? Coba cek dengan siapa penulis pergi ke bioskop untuk menonton Warkop Reborn? Ya, dengan istri dan kedua anaknya yang berusia 9 tahun dan 5 tahun. Lalu, di bioskop apa rating untuk film tersebut? Ya, benar! R-13. Mulai menangkap keanehannya?

3o72f8t9tdi2xvnxoe

좋아요! 

Setelah membaca artikel itu, saya membaca artikel lanjutan yang juga ditulis oleh penulis yang sama. Kalau ingin baca, silahkan klik tautan ini. Artikel itu menjelaskan alasan penulis menulis artikel sebelumnya yang berisi kritik terhadap film Warkop Reborn. Paragraf pertamanya berbunyi:

“Saya tidak menyangka kalau tulisan saya Warkop Reborn, Penonton Tertipu, karena trailer dan filmnya berbeda dengan adanya muatan pornografi mendapat sambutan yang luar biasa karena dibaca per hari ini 75 ribu tayangan dan dibagi sekitar 10 ribu kali. Saya nggak menyangka sebelumnya karena maksud saya menulis hanyalah curhat mewakili ayah yang merasa bersalah mengajak anaknya nonton film tersebut dan ribuan orang tua lain yang kecewa namun tak puya tempat dan waktu menyampaikannya. Tidak ada niat untuk mencari popularitas dalam kesuksesan film tersebut, karena saya tidak punya kepentingan dibalik itu. Kalau nama saya jadi dikenal itu berati tulisan saya memberi manfaat karena telah viral dibagi ribuan orang. Saya sama sekali tidak menyudutkan Produser, sutradara atau pemain dalam film itu. Karena mereka sahabat saya juga.”

Source: http://www.kompasiana.com/dudunhamdalah/alasan-saya-menulis-artikel-warkop-reborn-menipu_57e078ba177b610e0d130be2

Dalam kutipan tersebut, penulis mengungkapkan bahwa tulisan yang sebelumnya ia terbitkan merupakan curhatan dari seorang ayah yang merasa bersalah karena membawa anaknya menonton film yang tidak sesuai dengan umurnya. Uniknya, dari keanehan yang saya coba tunjukkan sebelumnya, sepertinya perasaan bersalah itu berkaitan dengan kekesalan penulis terhadap trailer yang tidak memuat konten film yang ‘sebenarnya’, dan justru bukan rasa bersalah karena dengan teledor main beli tiket begitu saja untuk nonton film ber-rating R-13 dengan istri dan anak yang masih di bawah umur. Kalau kalian buka artikel itu dan baca-baca lagi sampai section komentar, kalian bisa melihat bahwa ada beberapa pengguna Kompasiana yang mencantumkan tautan ke halaman Warkop Reborn di situs bioskop yang memuat rating film. Lagipula, ‘kan penulis sendiri yang bilang bahwa ia datang ke bioskop dan melihat rating filmnya adalah R-13. Lha kalau sudah tahu rating-nya segitu, kenapa masih tetap beli tiketnya padahal sudah tahu anak-anaknya masih di bawah umur? Hanya karena ada pengunjung orang dewasa lain yang membawa anak-anak di bawah umur menonton film yang tidak sesuai dengan usia anaknya, tidak lantas kita juga harus nonton, ‘kan?

avtdz7invpi1w

아이고 제발…

Bukannya mau merendahkan atau menghina penulis artikel tersebut, tetapi kalau kita lihat menjelang akhir tulisan, penulis mencantumkan beberapa gelarnya, dari mulai juara Stand Up Comedy, sampai juara-juara lainnya (kok nggak ada juara makan Samyang tingkat kelurahan ya?). I really am sorry to say this but isn’t it ironic that such gelar mentioned ternyata tidak mencerminkan pola pikir yang sebenarnya? I mean, ‘kan di bioskop sendiri sudah terpampang nyata sampai garis cakrawala ala Syahrini bahwa film-film yang ditayangkan itu ada rating-nya. Mengandalkan trailer aja mah sama aja kayak kamu mau liburan ke luar negeri tapi hanya mengandalkan video-video pariwisata yang diunggah oleh pemerintah negara tersebut, tanpa cari tahu lebih lanjut tentang negara yang bersangkutan. Hell no! Mana ada video-video kayak gitu mau menayangkan keadaan daerah perkampungan kumuh atau kemacetan jalanan? Yang ditampilin ya yang bagus-bagusnya.

Geez! Please! Sebelum menyalahkan pihak lain atau mengkritik pihak luar, coba pikir dulu apakah sendiri sudah betul. Hal kayak gini nggak hanya terjadi sekali dua kali saja. Sebelumnya, kita sudah pernah dengar berita tentang film Deadpool yang dituntut para orang tua supaya dicekal karena mengandung banyak adegan-adegan panas dan semacamnya, dan anak-anak mereka ternyata menonton film itu. Para orang tua itu main kritik pedas, main lapor ke pihak ini itu, main tuntut si Deadpool dan film-film sejenis harus dicekal. Lha emang mereka udah berhasil mengawasi dan memilih tontonan buat anak-anaknya? Waktu saya ke bioskop buat nonton Deadpool dengan teman-teman saya, masih ada beberapa orang tua yang saya lihat membawa anaknya yang masih di bawah umur ke studio. La la la ~ saya positive thinking saja lah, para orang tua itu sudah membaca rating film dan berani mengambil risiko.

Saya sudah tulis kritik tentang hal itu di Facebook. Mungkin sebagian orang berpikir, “Ah, tau apa sih anak ini? Palingan dia taunya cuman kucing atau makanan doang”, atau “Ya elah Korea KW kayak dia mah ngapain bikin kritik ga berkualitas kayak gitu!” Well terserah lah orang mau bilang apa yang jelas sih saya punya pandangan saya sendiri.

bqalugfyfyhzw

nwg7m1vlt101w

난 상관이 없다~

Jadi gini ya, pak, bu, mas, mbak, akang, teteh, koko, cici, hyung, nuna, cobalah jadi penonton yang bijak. Tahu diri gitu loh maksudnya. Kalau misalnya sadar diri bahwa “Oh, aku masih belum mimpi basah!” atau “Aku belum dapet nih!” dan masih di bawah umur, pilihlah tontonan yang sesuai sama umurnya. Bukannya saya pesimis atau gimana sih tapi kayaknya kesadaran seperti ini memang kecil ya di kalangan orang-orang zaman sekarang. Ah, positive thinking saja deh bahwa masih ada orang-orang bijak yang mau nonton film ber-rating yang sesuai dengan usia/kalangannya. Ah anak-anak zaman sekarang SD kelas 1 aja udah mainan iPhone, anak SD kelas 5 udah kenal Tinder, udah tahu film atau lagu yang nge-tren dan apa yang lagi dope se-dope dope-nya jadi harus diikuti biar up-to-date. Kalau ada film yang lagi happening, harus nonton supaya nggak katrok. Padahal, umurnya masih di bawah 13 tahun tapi ingin nonton film yang rating-nya dewasa.

Saya jadi ingat, waktu itu saya mau nonton film dengan sepupu-sepupu. Saya dan mereka pergi ke bioskop di Grage Mall Cirebon. Waktu itu kami mau nonton Thor. Sayangnya ketika beli tiket, petugas penjual tiket melihat saya dan bertanya, berapa umur saya, ternyata Thor itu rating-nya untuk dewasa dan saya pun tidak diperbolehkan untuk beli tiket. Walhasil, saya dan sepupu-sepupu tidak jadi menonton karena–pada kenyataannya–mereka juga masih di bawah umur.

Sedihnya, petugas bioskop seperti itu sepertinya sudah jarang ada ya kalau sekarang. Mungkin ada sih, tapi karena melihat perawakan customer yang tinggi besar, jadi dikiranya dia sudah remaja atau dewasa muda, padahal umurnya baru 14 atau 15 tahun, dan ingin nonton film dengan rating R-18. Kadang-kadang, tiket juga dibelikan pihak lain yang sudah dewasa (mis. orang tua atau kakak) dan diberikan pada anak atau adik yang masih di bawah umur. Kalau seperti ini, ya customer dewasa itu yang bertanggung jawab dan salah. Sudah jelas anaknya atau adiknya masih di bawah umur, kok diajak nonton film yang rating-nya tidak sesuai?

Sebetulnya, bisa saja loh pihak bioskop melakukan screening untuk menentukan audiens yang tepat untuk setiap film yang ditayangkan. Misalnya, sebelum membeli tiket pengunjung diwajibkan menunjukkan KTP. Kalau ada pengunjung yang beli tiket untuk dua orang, nah dua-duanya harus kasih lihat KTP untuk membuktikan bahwa mereka menonton film yang sesuai dengan usia/kalangannya. Lah, gimana dengan layanan beli tiket online atau GO-TIX? Unggah saja foto KTP-nya ke situs atau aplikasi (ini jadi PR juga buat aplikasi penyedia layanan beli tiket). Gimana kalau KTPnya ternyata palsu? Sebelum masuk studio, petugas harus cek lagi KTP penonton jadi ketahuan siapa yang beli tiket pakai KTP palsu.

Tapi saya sih percaya kecurangan pasti bakalan tetap terjadi. Yah, mau gimana lagi. Mentality seperti itu sepertinya sudah melekat kuat dan susah dihapusnya. Bisa dihapus kok, nggak ada yang nggak mungkin, cuman susah. Tugas kita bersama.

Kita? Lo aja kali. 

Ya sudah kalau lo nggak mau bertanggung jawab dan menyelamatkan keluarga atau anak cucu lo. Kalau kelakuannya bejat ya tanggung sendiri.

Oh ya, jangan lupa membahas tentang peran orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak-anak untuk memilih tontonan yang sesuai dengan usianya. Banyak anak-anak yang ‘berhasil’ menonton film-film dewasa atau yang tidak sesuai dengan rating-nya dan ini berada di luar kendali orang tua. Misalnya, si anak menonton diam-diam atau, mungkin, orang tuanya terlalu cuek untuk melihat rating film (eta geus terpampang nyata padahal). Setidaknya, ayolah orang tua tunjukkan perannya untuk menjaga anak-anaknya supaya mendapatkan tontonan yang baik. Lucunya, ada beberapa orang tua yang ikut menonton film dewasa bersama anaknya, dan setelah sadar bahwa di film itu ada adegan-adegan porno atau kekerasan, tiba-tiba berkoar-koar di media sosial, menyalahkan pihak production house dan bioskop karena menayangkan film-film yang tidak layak ditonton. Lah, situ kenapa kagak liat rating film? Memangnya bioskop harus menayangkan film untuk satu kalangan saja? Bagaimana dengan kalangan lain? Kenapa harus menyalahkan pihak lain dulu, padahal sebetulnya masalah ada di diri sendiri? Ada orang tua yang berpenghasilan cukup, bisa memberikan anaknya apa saja dan memanjakannya, tetapi bahkan terlalu ceroboh untuk nggak memeriksa rating film di bioskop dan akhirnya berkoar-koar di internet tentang film yang dilihatnya bersama si anak.

Are you that illiterate to even read the film rating?

wttaiw8gecok4

Ayolah! Jangan kayak gini terus! Kenapa sih nggak mau mengubah diri sendiri dulu sebelum menyalahkan pihak luar? Bioskop mempromosikan film-film yang rating-nya dewasa atau remaja, lalu dianggap menghasut anak-anak untuk menonton film-film yang tidak sesuai dengan umurnya. Kenapa menuduh atau menyalahkan promosi film? Lu nya aja jangan bego buat begitu aja ngajak anak nonton film yang nggak sesuai dengan rating atau membiarkan anak nonton film begitu. Udah besar lah udah harus tahu cara mendidik dengan benar. Susah emang mendidik anak tuh, tapi seenggaknya tunjukkin usaha lah.

Karena menyalahkan orang lain lebih mudah daripada mengakui kesalahan sendiri.

Padahal ‘kan sudah dinyanyikan oleh Sherina di album soundtrack Petualangan Sherina. Liriknya berbunyi “Setiap manusia di dunia pasti punya kesalahan, tapi hanya yang pemberani yang mau mengakui.” Udah lah jangan dulu nyalahin pihak lain. Lain kali baca dulu rating film sebelum beli tiket. Kalau perlu baca sinopsisnya, ‘kan udah ada smartphone atau tablet, bisa lah cari-cari infonya di internet. Males banget baca kayanya.

Emang lu sendiri nggak pernah nonton film yang rating-nya nggak sesuai? 

I’d be a coward kalau saya bilang saya nggak pernah. Yap, saya pernah nonton film yang tidak sesuai dengan usia saya. Saya pernah diam-diam nonton Ghost Rider yang rating-nya dewasa, sementara saat itu saya baru 14 tahun. Saya bahkan pernah dikasih lihat video porno oleh teman saya (dan akhirnya kami tonton). I’m not perfect and I know it. Nobody’s perfect. We all do fucking know it, 그죠? I’m not saying that I’m a better person compared to anyone else but, at least, I’m not the one who ngajak anak kecil di bawah umur nonton film dengan rating remaja atau dewasa tanpa melihat dan mencari tahu tentang film tersebut, dan berkoar-koar menyalahkan pihak bioskop atau production house bahwa film tersebut nggak layak ditonton anak kecil. Saya menonton film dewasa, saya merusak diri. Oke, katakanlah demikian. Tapi setidaknya, saya nggak mau merusak anak orang–apalagi anak sendiri–dengan mengajak anak di bawah umur menonton film yang tidak sesuai dengan usianya. Bukan saya ya yang koar-koar di media sosial menjelek-jelekkan pihak bioskop atau riweuh menuntut biar film dicekal. Salah sendiri nggak mau baca rating, males cari informasi terlebih dahulu tentang film, atau terlalu apatis buat take ratings into account.

sdrnvpfglh8me

Kesimpulannya, kasus film yang dianggap tidak sesuai dengan tontonan atau semacamnya ya perlu dilihat atau ditangani dari berbagai pihak. Pertama, anak-anak sendiri harus dipupuk kesadaran mengenai tontonan yang tepat (susah sih, tapi harus coba dilakukan). Kedua, pihak orang tua atau orang dewasa juga jangan langsung main nyalahin pihak bioskop atau production house. Coba pikir dulu selama ini sudah betul tidak mengawasi anak-anak, atau teliti tidak sebelum beli tiket film. Google ada. Informasi rating di bioskop ada. Kurang apa lagi? Ayolah jangan malas cari informasi. Ketiga, pihak bioskop pun harus mencari cara agar setiap pengunjung bioskop menonton film yang sesuai dengan usia/kalangannya dan meminimalisir kecolongan penonton yang tidak eligible. Hal kayak gini jadi pelajaran buat semuanya, termasuk saya.

7gny5epwmlklc

ABS menyusul. Masih OTW. Oke tungguan weh.

Walah udah jam 1 malam. Pantesan ngantuk. 여러분 잠을 잘 자세요! 사랑해요!

Nasi dan Kerupuk, Surga Dunia

Siang ini ibu saya membawakan beberapa plastik kerupuk. Nggak spesial sih memang, toh cuman kerupuk. Kerupuk putih lagi. Murah lagi. Nggak kayak snack yang dijual di supermarket besar, yang diimpor dari luar negeri.

KATA SIAPA, BRO?!

Yang meremehkan kenikmatan kerupuk, wake up! Kerupuk, buat saya, adalah salah satu kenikmatan dunia yang tidak bisa dipungkiri. Apalagi kerupuk putih yang keriting itu. Seriously, penemunya harus dikasih nobel. Berlebihan ya saya? Peduli amat.

Inti dari tulisan ini sebetulnya bukan tentang saya yang ingin jadi duta kerupuk internasional. Kejauhan. Mau jadi boyband, nggak bisa dance. Mau operasi plastik, takut sama alat bedah. Mau jadi rockstar, hatinya masih terpaut sama Jenita Janet. 제니타 재넷 알아요? 몰라요? Kasian deh kalau nggak tau. Tonton tuh YouTube! #TeamJanet #DiReject #KoreaDangdut

락스타 되고 싶다..

락스타 되고 싶다..

락스타 되고 싶다..

락스타 되고 싶다..

락스타 되고 싶다..

Kembali ke kerupuk!

Memang definisi surga dunia dan kebahagiaan buat setiap orang beda-beda. Buat saya, definisinya bermacam-macam. Saya nggak mematok kalau kebahagiaan itu harus dalam satu bentuk saja. Misalnya, kalau makanan, saya hanya bisa bahagia kalau makan makanan Korea. Nggak gitu. Saya nggak bisa menetapkan dalam satu hal saja. Dangkal banget pikiran orang kalau kebahagiaan hanya dinilai dari satu aspek saja. Ceuk saha? Ceuk aing. Mungkin bagi sebagian orang makan nasi dan kerupuk saja itu nggak ada apa-apanya. Makanan murah. Bukan makanan mewah atau mahal. Bukan gourmet. Eh, tapi kata siapa kerupuk ga bisa jadi gourmet? Belum pernah cek akunnya Dade Akbar di Instagram ya? Cek deh (ini tautannya) dan siap-siap aja kaget karena makanan warteg dia sulap jadi makanan sekelas restoran bintang Radler, eh, bintang lima. Termasuk di antara makanan itu, ya, kerupuk.

kaleng_kerupuk

Kembali ke kerupuk lagi ya. Buset dah banyak distraction.

Di rumah, kerupuk putih keriting hampir tidak pernah disajikan. Terlalu ekstrim kalau bilang gitu, jadi saya bilang saja sangat jarang disajikan. Entahlah. Ibu saya jarang beli kerupuk seperti itu (katanya di tukang sayur jarang ada, which is really weird). Saya sendiri senang dengan kerupuk seperti itu. Selain rasanya yang gurih, teksturnya juga renyah, apalagi pada bagian yang agak gosong. Biasanya kerupuk ini juga dikasih semacam seledri atau bawang daun (kadang-kadang traces-nya bisa terlihat di kerupuk). Dulu waktu saya masih SMA, di rumah sering sekali ada kerupuk seperti itu. Kalau sarapan pagi atau makan sore (saya sekolah full day soalnya), saya senang makan dengan kerupuk itu. Kalau lagi nggak selera makan, setidaknya makan nasi dan kerupuk aja buat saya udah cukup. Kenyang? Lumayan. Enak? Yoi. Bergizi? Kurang 😦

Tapi tetap kok enak! Percaya deh sama saya.

Makan nasi pakai kerupuk itu enaknya ketika nasi masih panas (tapi jangan sampai bikin tangan melepuh). Kerupuk kan teksturnya renyah. Ketika kena uap panas dari nasi, jadi agak lembek, tapi masih tetap renyah. Perpaduan tekstur lembut dan hangatnya nasi dengan renyah dan gurihnya kerupuk itu tiada tara.. Budiman, Budiman, Budiman.. (ketularan acara Pagi Pagi). Kadang-kadang kerupuknya dicocol ke sambal. Enak banget! Ditambah tempe goreng, udah ada karbohidrat dan protein. Kurang sih sebetulnya kalau mau ngejar empat sehat lima sempurna enam T-Ara, tapi.. ya.. kenikmatannya itu loh.

Bagi saya, makan nasi dan kerupuk merupakan kebahagiaan tersendiri. Buat orang lain, mungkin makan nasi dan kerupuk nggak bisa memberikan kebahagiaan. Baiklah. Saya jadi ingat ada kenalan yang paling nggak bisa makan di tempat kayak warung nasi atau warteg alias warung Tegal. Entahlah. Katanya nggak suka. Dia hanya mau makan di restoran yang harga makanannya, ya, minimal dua puluh ribu rupiah. Buat saya, hal itu nggak masalah. Ya itu ‘kan selera dia, keinginan dia. Saya mau makan di warteg atau restoran lain, kalau saya mau ya saya bisa pergi. Yang susah adalah pada saat ada orang yang memaksa orang lain harus mengikuti selera atau kebiasaan dia. Dan ternyata, setelah saya selidiki lagi, dia makan di tempat-tempat yang mahal hanya karena gengsi doang.

Gengsi.

Kalau gitu sih, makan nasi sama kerupuk di restoran bintang lima juga bisa aja, toh dapat gengsinya dari tempatnya ‘kan. Beli makanan mahal yang kadang-kadang kita nggak ngerti itu makannya gimana atau rasanya kayak gimana malah buang-buang uang, menurut saya sih. Kalau ngejar gengsi sih, nggak akan ada habisnya. Habis makan di restoran A, nanti ke restoran B yang menyajikan city view dari ketinggian 200 lantai. Habis itu, ke restoran C yang menyajikan sajian sirip hiu. Di tiap restoran, pasti foto makanannya dan selfie. Waktu di rumah, tetap aja makanannya apa yang ada di rumah. Kalau nggak, beli nasi goreng atau mi tek-tek yang lewat depan rumah. Dan saat ditanya lebih kenyang makan apa, jawabannya mi tek-tek.

Seriously?

Saya ingat di Seoul ada satu restoran Perancis, mewah dan mahal, lokasinya dekat Lotte Mall di pusat kota. Biaya makan di sana itu bisa kamu pakai beli dakgangjeong ukuran cup medium lima sama tteokbokki medium cup sepuluh. Lebih kenyang makanan yang begitu. Ga habis pikir sama makanan mahal yang ukurannya kecil tapi harganya bisa sampai lima kalil sembako. Apa saya pernah makan di sana? Nggak. Kalau dibayarin sih mau, tapi kalau nggak mendingan saya nyolekin gochujang sambil nonton TV. #AkuMahRakyat #KasihaniAku

Kembali ke kerupuk. Ya, memang definisi surga dunia buat setiap orang beda-beda. Hanya saja, nggak baik aja kalau harus menetapkan satu hal yang sama sebagai indikator kebahagiaan. Kalau saya merasa senang makan nasi dan kerupuk, tapi keberatan dan nggak nyaman ketika makan makanan mahal, mau bagaimana lagi? Hal yang sebaliknya juga sama. Kebahagiaan nggak bisa selalu dilihat dari harga. Kerupuk yang dijual seharga lima ribu per plastik dan yang dijual seharga lima puluh ribu per plastik, selama bahan-bahan bakunya sama dan dibuat dengan cara yang sama, kayaknya lebih baik beli yang lima ribu. Kadang-kadang masalahnya cuman di penampilan doang, padahal rasa dan sensasi sama. Ya itu dia. Gengsi.

Jadi ngelantur ya? By the way, makanan saya sudah habis. Sekarang malah ingin batagor.

Tulisan Pertama

Akhirnya saya pakai juga WordPress. Sebetulnya dulu pernah pakai sih, dan direkomendasikan oleh ayah untuk pakai WordPress, tapi apa daya keburu daftar di Blogger.

giphy

Jadi ini adalah tulisan pertama di blog baru saya, Hello Junseo. Kenapa namanya Hello Junseo? Kenapa tidak yang lain. Cat Meows, misalnya? Ya pengen aja. Ini blog dibuat secara impulsif. Awalnya tidak diniatkan untuk buat blog baru tapi ya secara impulsif ingin buat blog ini. Apakah saya akan rajin menulis atau tidak, kita lihat nanti.

Isinya mungkin kebanyakan tulisan acak atau curahan hati. Di blog sebelumnya, saya menulis beberapa ulasan dan cerita pendek. Sayangnya, di blog ini nggak akan ada tulisan seperti itu. Kalau ingin baca ulasan atau cerita pendek, bisa berkunjung ke blog Blogger saya, atau profil Wattpad saya. Kalau pun ada tulisan yang berbau ulasan, ya anggap saja saya bocor reviewing. Kadang-kadang suka gatal sih ingin mengulas sesuatu, misalnya batagor depan kompleks.

Gaya bahasa yang digunakan pun mungkin absurd. Mungkin di beberapa bagian saya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sesuai dengan ejaan yang tepat. Di beberapa bagian, saya tiba-tiba pakai bahasa gaul atau code-switching dengan bahasa lain. So, mohon maaf kalau saya tiba-tiba #EnglishBocor, #한국어Bocor atau #SundaBocor. Tau bocor kan? Itu loh iklan cat di TV. Bochor bochor! Bachelor. Weits, saya sudah wisuda. Ga nyambung ya? Nikmatin aja lah. You only live once. Apa sih gue.

Saya nggak tau yang akan baca siapa saja, tapi yang terpenting adalah saya punya tujuan dengan adanya blog ini. Saya mungkin nggak bisa jelaskan tujuannya apa yang jelas, ada satu tujuan utama yang semoga bisa tercapai dengan adanya blog ini. Kalau ada komentar atau saran ke depannya, jangan ragu untuk sampaikan. Saya baik kok orangnya, nggak gigit orang. Saya bukan kanibal.

좋은 밤 되세요!