Review: Crazy Rich Asians

SPOILER ALERT! Kalau belum nonton filmnya, hati-hati BANYAK SPOILER.

Setelah penantian yang cukup lama, akhirnya film ini dirilis juga di Indonesia. For the record, saya ngikutin kisah ini dari novelnya. Sekitar awal tahun ini, mungkin Maret atau April ya (lupa), saya lihat ada video trailer film ini dan langsung excited. Saya sampai terus cari tahu tentang film ini, kapan rilisnya di luar, kapan rilis di Indonesia, dan lain-lain.

crazy_rich_asians

Theatrical poster untuk Crazy Rich Asians

Buat yang belum tahu, Crazy Rich Asians ini merupakan film yang diadaptasi dari novel dengan judul sama yang ditulis oleh Kevin Kwan. Novelnya sendiri diterbitkan tahun 2013 jadi adaptasi filmnya hadir lima tahun setelah novelnya keluar. Crazy Rich Asians sendiri sebetulnya merupakan first installment dari trilogi crazy rich. Sekuel kedua, China Rich Girlfriend diterbitkan tahun 2015 dan sekuel terakhir, Rich People Problems diterbitkan tahun 2017, setahun sebelum rilis film Crazy Rich Asians.

crazy_rich_asians_trilogy_ebook_1520523292_6ea43fc6

Crazy Rich Asians (2013), China Rich Girlfriend (2015), Rich People Problems (2017)

Film ini dibintangi oleh Henry Golding dan Constance Wu sebagai protagonis. Henry Golding sendiri memang nggak banyak nongol di televisi kita karena ini merupakan proyek film pertama dia (sebelumnya dia tuh kayak jadi presenter acara travel di Malaysia, tapi waktu di KL saya nggak lihat acaranya dia haha). Constance Wu sendiri terkenal dengan serial TV Fresh Off The Boat di Amerika Serikat (dan serial komedi ini lucu banget, tentang keluarga Tionghoa yang tinggal di Amerika). Selain mereka, ada juga Gemma Chan (yang nonton Transformer pasti pernah lihat dia), Awkwafina, Ken Jeong, dan Michelle Yeoh, antagonis di film ini yang sebelumnya terkenal lewat beberapa film, termasuk The Memoirs of Geisha.

kevin-kwan-crazy-rich-asians

L to R: Constance Wu, Awkwafina, Kevin Kwan (penulis), Michelle Yeoh, Ken Jeong, dan Henry Golding

Nah film dan novel ini tuh tentang apa? Sebetulnya sih plot ceritanya klasik dan kalau Kevin Kwan nggak kemas dengan apik dan unik, plot ini mirip cerita-cerita di sinetron Indonesia, Malaysia, dan Korea. Intinya sih tentang pasangan kekasih yang ditentang ibu dari si cowok karena si cewek bukan dari “golongannya”. Yang bikin cerita ini unik adalah si cewek sama sekali nggak tahu bahwa si cowok ini berasal dari keluarga yang kaya tujuh turunan, dan baru sadar ketika mereka mau terbang ke Singapura dan si cowok ternyata belikan tiket pesawat kelas satu.

Nggak hanya di situ, si cewek pun harus mengalami culture lag karena dunia si cowok di Singapura ini  ternyata sangat berbeda dari kehidupan mereka di New York. Mereka berdua ini di New York tinggal bersama dan dua-duanya kerja sebagai dosen. Sementara itu, keluarga si cowok merupakan salah satu keluarga terkaya di Singapura. Neneknya si cowok bahkan punya rumah terbesar dengan lahan terluas di Singapura (disebut sebagai Tyersall Park) yang letaknya ada di belakang Singapore Botanical Garden. Buat kalian yang nggak tahu, harga tanah di Singapura itu super duper mahal akibat sedikitnya lahan yang ada. Harga tanah atau rumah petak di kota-kota besar Indonesia aja udah mahal, apalagi di Singapura, negara dengan biaya hidup yang terbilang cukup mahal.

 

Plot

Film ini diawali dengan flashback ketika Nick Young masih muda. Eleanor Young (Michelle Yeoh) dan keluarganya tiba di sebuah hotel di London dan ingin konfirmasi reservasi kamar, tetapi diusir oleh pihak hotel karena rasisme. Akhirnya, Eleanor terpaksa menghubungi suaminya dan setelah itu, datang kembali ke hotel. Pihak hotel hampir menghubungi polisi, tapi ternyata pemiliknya datang dan menjelaskan kepada para pegawai hotel bahwa dia sudah menjual hotelnya ke keluarga Young. Ini artinya Eleanor Young adalah pemilik dari hotel tersebut. Setelah itu, Eleanor menyuruh si pegawai hotel yang rasis itu untuk pel lantai hotel yang kotor karena lumpur dan air hujan di luar.

Di tahun 2018 di New York, Nick Young (Henry Golding) berencana ngajak pacarnya, Rachel Wu (Constance Wu) untuk ikut ke Singapura dan menghadiri pernikahan sahabatnya, sambil bertemu keluarganya. Mereka ngobrol di sebuah kafe dan tanpa disadari, mereka berdua difoto diam-diam oleh Cassandra Shang (Constance Lau), si Radio One Asia dan foto itu disebarkan ke grup chat sosialita dan milenial tajir di Singapura, sampai akhirnya kabar Nick pacaran itu sampai ke Eleanor dan geng ibu-ibunya. Eleanor langsung tahu bahwa pacarnya Nick ini American Chinese dan dia punya pandangan negatif tentang orang-orang yang ke-Amerika-Amerika-an.

Rachel, yang nggak tahu kalau pacarnya adalah salah satu orang dari keluarga terkaya di Singapura kaget ketika Nick belikan tiket pesawat kelas satu. Di perjalanan ke Singapura, Rachel tanya-tanya tentang sepupu-sepupu Nick, seperti Eddie Cheng (Ronny Chieng), Alistair Cheng (Remi Hii), dan Astrid Leong-Teo (Gemma Chan), dan mereka semua adalah orang-orang yang tajir gila. Eddie Cheng ini orang bank yang tinggal di Hong Kong sama istrinya, Fiona dan ketiga anaknya. Alistair Cheng juga tinggal di Hong Kong dan merupakan orang film yang pacarnya, Kitty Pong adalah seorang artis opera sabun. Sementara itu, Astrid Leong Teo adalah cewek yang selalu jadi sorotan media karena kecantikan dan pakaian-pakaiannya. Dia juga istri dari Michael Teo, orang perusahaan start-up. 

Tiba di Singapura, Nick dan Rachel disambut oleh Colin Khoo (Chris Pang), sahabat masa kecil Nick dan tunangannya, Araminta Lee (Sonoya Mizuno). Mereka langsung diajak buat makan-makan di food court dan nyoba berbagai makanan di Singapura, terutama sate. Minty (panggilan Nick dan Colin buat Araminta) ngundang Rachel ke bachelorette party-nya karena para cowok juga sudah punya pesta tersendiri, dan Rachel sepakat. Keesokan harinya, Rachel bertemu dengan teman semasa kuliahnya, Peik Lin (Awkwafina) yang ternyata berasal dari salah satu keluarga terkaya di Singapura. Rachel disambut ramah sama keluarga Peik Lin, termasuk orang tuanya (Ken Jeong dan Koh Chieng Mun). Di sini, Rachel juga belajar bahwa di Singapura, dia bisa panggil ibu-ibu dengan sebutan “auntie” biar terkesan lebih akrab.

Nah malam harinya, Rachel diantar Peik Lin untuk makan malam di Tyersall Park, rumah neneknya Nick. Awalnya berniat ngantar doang, Peik Lin ikut diundang makan malam sama Nick. Rachel dan Peik Lin ketemu dengan Astrid, Michael, Eddie, dan keluarga-keluarga Nick yang lain, termasuk auntie Felicity, auntie Alix, dan Oliver Tsien (Nico Santos), sepupu yang “paling melarat” di antara anggota keluarga yang lain. Pada momen ini juga Rachel ketemu dengan Eleanor yang, sejak pertemuan pertama sudah bersikap dingin sama Rachel (and she knows that Eleanor does not like her). Pada akhirnya, Rachel ketemu dengan ah ma-nya Nick, Shang Su Yi (Lisa Lu). Ah ma itu artinya nenek. Berbeda dari sikap Eleanor, ah ma justru menyambut hangat Rachel dan ngundang dia untuk bikin dumpling alias pangsit bersama. Di momen ini juga, Astrid akhirnya tahu bahwa ternyata Michael punya selingkuhan.

crazy-rich-asians-movie-2018

Eleanor, Nick, dan Rachel

Besoknya, Rachel pergi bersama rombongan Araminta dan teman-temannya untuk bachelorette party di pulau Samsara, sementara Nick dan para cowok ikut bachelor party yang diadakan oleh Bernard Tai (Jimmy O. Yang) di semacam kapal induk yang disulap jadi DWP dadakan, lengkap dengan kolam renang, music stage, dan hot babes. Di pulau Samsara, Rachel bertemu dengan Amanda Ling (Jing Lusi). Pada awalnya, Amanda kelihatan kayak orang yang ramah ke Rachel dan jadi “teman” buat dia ketika Araminta terlalu asyik dengan pestanya. Akhirnya, Amanda kasih tahu Rachel bahwa dia dulu pernah pacaran sama Nick. Situasi juga mulai memburuk buat Rachel ketika teman-teman Araminta yang lain ternyata ngomongin dia di belakang. Di saat Rachel kesal, dia ketemu dengan Astrid yang baru datang dan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk ke kamar Rachel.

Masih belum selesai hinaan untuk Rachel, di atas tempat tidurnya ada ikan busuk yang penuh darah dan di jendela kamarnya ada tulisan hinaan untuk Rachel: “Gold-digging bitch“. Karena nggak ingin bikin keributan dan jadi pusat perhatian (dan bahan olok-olok lagi), Rachel dan Astrid “mengamankan situasi” dengan kubur ikan busuk itu dan duduk di pantai sambil berbagi cerita. Di momen inilah Astrid cerita bahwa kehidupannya nggak sesempurna yang dilihat karena suaminya berselingkuh. Mereka saling menghibur dan menguatkan satu sama lain. SISTER POWER!

crazyrichasians11

Michael selingkuh…

Sementara Rachel dan Astrid saling menguatkan satu sama lain, Nick dan Colin memutuskan untuk kabur dari pesta yang Bernard adakan karena situasinya terlalu nggak banget. Akhirnya mereka kabur ke sebuah pantai terpencil dan minum bir bareng. Pada momen ini, Nick jujur sama Colin bahwa dia ingin lamar Rachel, dan Colin kasih dia dukungan. Hanya saja, Colin kasih tahu Nick bahwa mungkin situasi akan sulit karena statusnya sebagai pewaris kekayaan dan bisnis keluarga Young, dan keluarganya yang mungkin nggak setuju dengan hubungannya dengan Rachel. Dalam frame yang beda tapi disuguhkan secara bergantian, kita bisa lihat bahwa Rachel dan Nick sama-sama sedang galau.

Setelah Nick dan Rachel pulang dari pesta masing-masing, Rachel bilang jujur ke Nick bahwa dia ngerasa kesal dengan apa yang terjadi di bachelorette party Minty. Tapi memang si Nick ini jago ngerayu ya, Rachel akhirnya bisa ceria lagi dan Nick ajak Rachel ke Tyersall Park untuk bikin pangsit sama keluarganya yang lain, termasuk Astrid dan anaknya, auntie Felicity, auntie Alix, Oliver Tsien, ah ma, dan tentunya Eleanor.

Ketika Rachel tampaknya tersesat di Tyersall Park yang super gede itu, dia ketemu dengan Eleanor yang ternyata memang sengaja nyari Rachel. Sebelumnya, Rachel sempat tanya tentang cincin zamrud yang dipakai Eleanor. Setelah ketemu Rachel di tangga, Eleanor cerita bahwa cincin zamrud itu pemberian ayahnya Nick untuk pertunangan mereka. Ayahnya nggak bisa kasih cincin keluarga karena ah ma sebetulnya nggak suka dan nggak menerima Eleanor. Setelah itu, Eleanor juga bilang bahwa Rachel pun sama, nggak akan bisa diterima dan “will never be enough“. Di perjalanan pulang, Rachel terpaksa pura-pura “nggak apa-apa” ke Nick dan akhirnya memutuskan untuk curhat sama Peik Lin.

cra-fptb-0164r

I know this much. You will never be enough.

Setelah curhat sama Peik Lin dan dikasih wejangan bahwa dia nggak boleh takut sama Eleanor, Peik Lin tanya si Rachel ini ke pernikahan Colin dan Araminta mau pakai baju apa. Akhirnya, Peik Lin bergabung dengan Oliver buat pilihkan Rachel gaun yang tepat untuk ke acara pernikahan itu karena semua orang kaya dengan baju-baju yang mewah akan datang. Proses milih baju ini super kocak karena gaun-gaun yang nggak cocok bakalan dikomentarin dengan pedas oleh Oliver dan Peik Lin, sementara ayahnya Peik Lin berulang kali coba ikut campur, tapi disuruh pergi sama anaknya karena dianggap ganggu.

Pada akhirnya, inilah gaun yang Rachel pakai ke pernikahan Araminta dan Colin…

day36CRA048.dng

Gereja tempat Araminta dan Colin menikah disulap jadi semacam taman yang menurut Eleanor sih lebih mirip “sawah”, sementara auntie Alix dan auntie Felicity mengomentari tentang budget pernikahan yang sampai 40 juta dolar, sementara mereka punya batas cuman 20 juta dolar karena mereka Metodis. Karena bertugas sebagai pendamping mempelai pria, Nick cuman bisa lihat Rachel dari jauh selama prosesi pernikahan berlangsung, tapi mereka sempat saling lihat dan senyum. Lalu ada momen romantis nan mengharukan di mana wedding singer menyanyikan lagu Can’t Help Falling in Love With You, Colin berdiri di depan altar sambil berkaca-kaca ketika Araminta datang, dan Nick dengan gerakan bibir bilang ke Rachel, “I love you.

merlin_141971478_6e83226c-bc2a-46b0-b5b3-4f831a963686-master768

Selamat ya, ko Colin dan ci Minty~ Ditunggu dede baby-nya~

Setelah prosesi pernikahan selesai, resepsi pun diadakan di Supertree Grove. Ketika Rachel dan Nick lagi asyik dansa, mereka diminta untuk bertemu ah ma dan Eleanor. Ternyata, Eleanor selama ini pakai jasa private investigator untuk cari tahu tentang latar belakang keluarga Rachel yang ternyata nggak diketahui oleh Rachel sendiri. Dengan latar belakang keluarga yang “jelek”, ah ma nggak kasih Nick restu untuk berhubungan dengan Rachel dan Eleanor bilang bahwa Rachel nggak bisa bagian jadi keluarganya, yang dibalas oleh Rachel dengan bilang, “I don’t want to be a part of your family either” sebelum akhirnya pergi dari hingar bingar resepsi pernikahan yang super mewah.

Rachel pun tinggal bersama Peik Lin cukup lama setelah insiden itu. Setiap hari menggalau di atas tempat tidur, nggak mau makan, nggak mau minum, dan bahkan nggak mau mandi sampai disuruh Peik Lin buat mandi. Nick masih coba buat telepon Rachel, tapi selalu diabaikan. Suatu hari, Rachel kedatangan tamu tak diduga, yaitu ibunya. Rachel tanya ke ibunya kenapa dia berbohong tentang latar belakang keluarganya, dan ibunya cerita bahwa ibunya harus melewati masa sulit karena suaminya dulu adalah seorang yang abusive. Rachel sendiri sebetulnya bukan anak suaminya, tapi anak teman ibunya yang sempat menyelematkan dia dari kejahatan suaminya. Pada akhirnya, ibunya bawa Rachel ke Amerika Serikat supaya mereka berdua aman dari suaminya yang jahat itu. Sayangnya, ibunya nggak bisa menghubungi lagi temannya (ayahnya Rachel) karena takut ketahuan suaminya. Ibunya bilang ke Rachel bahwa sebelum mereka kembali ke Amerika Serikat, Rachel baiknya ketemu dulu dengan Nick karena Nick-lah yang bawa ibunya ke Singapura.

Akhirnya, Rachel pun ketemuan dengan Nick di daerah sekitar Merlion Park. Berasumsi bahwa Rachel sudah nggak marah, Nick pun melamar Rachel on the spot dan Rachel kaget ketika Nick ngelamar dia.

Setelah itu, Rachel menghubungi Eleanor dan ajak ketemu di tempat main mahjong. Rachel menjelaskan maksud dia bertemu dengan Eleanor. Rachel cerita Nick melamar Rachel, tapi dia tolak sehingga Eleanor nggak perlu khawatir lagi soal hubungan dia dengan Nick. Eleanor masih bersikeras menolak kehadiran Rachel dalam kehidupan Nick dan menjelaskan bahwa Rachel bukanlah apa yang Nick butuhkan.

17-crazy-rich-asians-mahjong-w700-h700

I know you are not what Nick needs.”

Rachel mengeluarkan satu keping mahjong-nya yang kemudian diambil oleh Eleanor, dan akhirnya Eleanor menang dengan keping tersebut. Ketika Rachel menunjukkan deretan keping dia, akhirnya kita tahu bahwa sebetulnya dengan Rachel bisa memenangkan permainan, tapi dia sengaja ngalah untuk Eleanor karena dia tahu keluarga adalah hal yang penting untuk Nick. Dia ngalah karena dia sangat sayang sama Nick. Sebelum pergi, Rachel bilang sama Eleanor bahwa suatu hari, ketika Nick menikah dengan orang yang dianggap oleh keluarganya pantas, itu semua karena orang miskin, biasa-biasa saja seperti Rachel.

crazyrichasians111

“… and if he chooses his family, he might spend the rest of his life resenting you.”

Selesai dengan urusan Nick, Rachel dan ibunya pamit ke Peik Lin dan keluarganya untuk pulang lagi ke Amerika Serikat, kali ini duduk di kursi kelas ekonomi. Astrid, yang dari awal sudah tahu bahwa suaminya selingkuh akhirnya bilang ke suaminya bahwa dia akan pergi dan bawa anaknya. Ketika Michael tanya tentang pengasuhan anaknya, Astrid bilang bahwa Michael bisa bertemu anaknya pada waktu yang tepat, bukan pada waktu kosong yang Michael punya (for the record, Michael ini dari awal diceritakan sangat sibuk). Eleanor mencoba bicara dengan Nick setelah “dianggurin” cukup lama.

Ketika Rachel dan ibunya mau cari tempat duduk, Nick tiba-tiba masuk ke pesawat dan ngejar Rachel. Terpisah barisan seat tengah, Nick mencoba jelasin ke Rachel semuanya dan pada akhirnya bisa berdiri di depan Rachel. Nick melamar lagi Rachel, tapi bedanya, kali ini yang dia tunjukkan adalah cincin zamrud yang Eleanor pakai. Penonton akhirnya melihat happy ending yang diinginkan. Rachel menerima lamaran Nick, dan Nick mengajak Rachel dan ibunya untuk tinggal semalam lagi di Singapura.

291353ec-5b1e-4691-82f6-ba6e2f30f4ac-c421cf64-34d2-40c0-827a-7aa859d9a7ce-screen-shot-2018-08-10-at-10158-pm

WAKWAAAW! KEJUTAAAN!

Film ini diakhiri dengan Rachel dan Nick di pesta pertunangan mereka yang diadakan di Skypark Marina Bay Sands. Di pesta ini, Colin dan Araminta langsung menyambut keduanya dengan meriah. Astrid juga datang dan kelihatan sangat senang (sepertinya lega karena bisa terlepas dari Michael). Dari kejauhan, Eleanor ada di pesta. Rachel dan Eleanor sempat saling melihat, dan kali ini dibalas dengan senyuman Eleanor yang sudah kasih restu ke mereka berdua untuk berhubungan.

 

Musik

Mengambil latar tempat di Singapura dan menyoroti keluarga Tionghoa, Crazy Rich Asians menghadirkan banyak lagu berbahasa Mandarin. Bisa dibilang 80% lagu-lagu di daftar soundtrack-nya berbahasa Mandarin.

Karena sejak kecil dengan banyak lagu Mandarin, sampai lagu-lagu lawasnya, film ini semacam jadi ajang nostalgia saya. Lagu-lagu seperti Gei Wo Yi Ge Wen (Give Me A Kiss) yang sempat dijadikan bagian dari jingle iklan Kecap Nasional, dan I Want You Love turut diputar di film ini. Kedua lagu itu pun hadir juga dalam versi baru yang dibawakan oleh Jasmine Chen, dengan aransemen jaz yang lebih menarik.

Sebagian besar lagu-lagu yang ada di album soundtrack masuk ke genre jaz, walaupun ada juga yang jatuhnya ke pop, dance, dan hip-hop. Ada juga loh beberapa lagu bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Mandarin untuk film ini, seperti Yellow (Coldplay), Money (The Beatles), dan Material Girl (Madonna). Untuk lagu Money sendiri, ada dua versi dalam album ini, versi solo Cheryl K dan versi duet dia dengan Awkwafina.

Personal favourites:

  • Waiting for Your Return (Jasmine Chen)
  • Money (Cheryl K featuring Awkwafina)
  • Give Me A Kiss (Jasmine Chen)
  • Do You Understand (Lilian Chen)
  • Can’t Help Falling in Love (Kina Grannis)
  • Yellow (Katherine Ho)

Oh ya, kalau nonton trailer filmnya, di bagian akhir trailer diputar lagu Glorious-nya Macklemore dan Skylar Grey. Sayangnya, lagu ini nggak masuk daftar soundtrack Crazy Rich Asians. Untuk Crazy Rich Asians saya punya dua album, satu album soundtrack dan satu album score yang komposisinya digubah oleh Brian Tyler. Coba deh cari Text Ting Swing. Itu asyik lagunya dan diputar di scene SMS yang ada di awal film.

 

Film Versus Novel

Karena saya mengikuti novelnya terlebih dahulu sebelum filmnya rilis, saya merasa agak kecewa dengan beberapa perbedaan di plot cerita. Kalau saya tonton dari beberapa video interview para cast, ada kemungkinan sekuel Crazy Rich Asians akan dibuat. Sayangnya karena ada perbedaan antara novel dan film, saya jadi agak pesimis karena perbedaan itu cukup signifikan dalam plot.

Misalnya nih, ketika Eleanor tahu bahwa Nick akan datang ke Singapura bersama Rachel, dia berusaha menjauhkan Rachel dari keluarga dengan bilang bahwa rumahnya lagi renovasi jadi nggak ada kamar tamu sehingga pada akhirnya Nick dan Rachel tinggal di hotel. Sementara itu di novel, Nick dari awal nggak tanya ke ibunya apakah dia dan Rachel bisa tinggal di rumah dan langsung menginap di hotel karena hotel itu punya keluarganya Colin.

fan-crazyrichasians

Di hotel juga nggak apa-apa, asal sama kamu.

Perbedaan lainnya adalah tempat pertemuan pertama Rachel dan Eleanor. Di film, Rachel pertama kali bertemu Eleanor di dapur Tyersall Park ketika Eleanor lagi inspeksi kerjaan para koki untuk acara makan malam. Sementara itu di novel, Nick dan Rachel diundang ke apartemen keluarga inti Nick Young (ayah dan ibunya) dan di situlah Rachel bertemu dengan Eleanor untuk pertama kalinya.

Selain itu di novel, Astrid nggak datang ke bachelorette party-nya Araminta. Malahan bisa dibilang bahwa Astrid ini nggak berteman dengan Araminta. Yang datang ke bachelorette party adalah Sophie Khoo, adiknya Colin yang juga sepupunya Astrid. Sementara itu, di novel yang datang ke pesta justru Astrid sendiri.

WAIT! Sophie Khoo itu adiknya Colin dan sepupunya Astrid? Berarti mereka itu..

Yes, people. Sophie, Astrid, Colin, dan Nick itu sebetulnya saudaraan. Beda ya sama di film. Astrid itu sepupu langsung Nick (Astrid anaknya Felicity Young, Nick anaknya Philip Young, saudara kandungnya Felicity jadi si Eleanor itu sebetulnya “orang luar” juga). Di sisi lain, Sophie ini adiknya Colin dan juga sepupunya Astrid. Intinya, Colin dan Nick itu sepupu jauh. That’s why keluarga Young diundang ke pernikahan Colin dan Araminta, bukan hanya karena mereka orang tajir, tetapi karena mereka juga saudaraan. Basically this is so me and my big family. Terlalu banyak hubungan darah ke sana sini jadi sering bingung sendiri.

Selain itu di film. konfrontasi antara pihak Eleanor dan Rachel terjadi di resepsi pernikahan Colin dan Araminta. Ah ma terang-terangan melarang hubungan Nick dan Rachel di salah satu sudut yang sepi di Supertree Grove. Sementara itu di novel, Nick sempat mengajak Rachel ke Malaysia dulu untuk berlibur di istana neneknya yang ada di Cameron Highlands, Malaysia. Nah, pasangan ini ditahan sama Eleanor dan ah ma di istana tersebut.

Oh ya, ada juga dua perbedaan signifikan yang bikin saya greget.

Pertama, Michael nggak berselingkuh. Di film, Astrid mergokin SMS selingkuhannya Michael, dan pada akhirnya Michael jujur bahwa dia memang berselingkuh. Di scene akhir, Astrid memutuskan untuk pindah dari rumah Michael bersama anaknya dan tinggal di “salah satu dari 14 apartemen” punya dia pribadi. Sementara itu di novel, hubungan Astrid dan Michael ini jauh lebih kompleks. Michael nggak pernah berselingkuh dan dia sengaja bikin skenario seolah-olah dia berselingkuh supaya Astrid mau ceraikan dia. Si Astrid ini nggak mau ceraikan Michael dan bersikeras bahwa semuanya “bisa dilewati”. Faktanya sebelum mereka menikah, si Michael ini pernah semacam dilabrak sama kakak-kakaknya Astrid dan dijatuhkan harga dirinya dengan ngasih lihat daftar aset yang Astrid Leong punya untuk diri dia sendiri, dan nanya apakah Michael sanggup nggak buat bersaing dengan kekayaan si Astrid.

Selain itu, kehidupan keluarga Astrid yang sangat glamor dan gaya hidup dan kebiasaan belanja Astrid yang terlalu mahal ini bikin Michael ngerasa rendah diri dan lelah. Di filmnya, Michael ini kayak jerk. Di novelnya, saya justru kasihan sama Michael karena dia sampai nangis minta Astrid buat ninggalin dia. Well I can see why.

Kedua, film Crazy Rich Asians diakhiri dengan Nick melamar Rachel pakai cincin zamrud ibunya di kabin kelas ekonomi pesawat. Di novelnya, NGGAK ADA PROPOSAL SAMA SEKALI. Rachel dan Nick memang pada akhirnya berbaikan dan berhubungan kembali, tapi Nick nggak ngelamar Rachel. Di novel, cerita berakhir dengan Rachel, ibunya, Nick, dan Peik Lin pergi ke Marina Bay Sands buat minum Singapore Sling barengan setelah Rachel berbaikan dengan ibunya. Rachel terus berterima kasih sama Nick karena udah bawa ibunya ke Singapura dan akhirnya mereka ciuman. Sementara itu, Nick nggak bicara sama Eleanor dan ah ma. Bahkan di buku kedua, China Rich Girlfriend, dikatakan bahwa setelah kejadian di buku pertama, Nick nggak pernah bicara dengan Eleanor selama 2 TAHUN.

 

Uang, Uang, Uang

Seperti yang bisa ditebak dari judulnya, film ini melibatkan banyak uang. I’m talking about the story. Kalau biaya produksi sih jangan ditanya lagi. Salah satu hal yang saya nggak suka adalah ketika uang sudah menjadi masalah dalam hubungan. Dalam hubungan Rachel dan Nick, uang menjadi masalah karena Rachel nggak berasal dari keluarga yang berada (dan hubungan ibunya di masa lalu memperburuk citra Rachel di mata Eleanor). Dalam novelnya, hubungan Michael dan Astrid pun rusak karena uang. Di novel, Michael sebetulnya nggak berselingkuh jadi sayang banget si Astrid ini keluar uang dan usaha banyak hanya untuk menyadari bahwa sebetulnya masalah dalam hubungan dia dan Michael itu bukan perselingkuhan, tetapi duit.

crazyrichasians-0

Jumpsuit-nya Araminta bling bling banget

Di bachelorette party si Araminta, kita bisa lihat betapa liarnya cewek-cewek yang ada ketika belanja gila-gilaan. Pakaian, status, dan duit  jadi indikator “kelayakan” seseorang untuk bergabung dalam lingkaran sosial. Eddie tanya ke Rachel apakah dia berasal dari keluarga Chu di Taiwan yang punya bisnis plastik, dan ketika Rachel bilang bukan, Eddie nggak berhenti menebak tentang keluarga Rachel (dan semua tebakannya adalah keluarga-keluarga pebisnis). Bernard Tai, yang merasa bahwa pesta bujang yang dia adakan untuk Colin dengan dana yang super besar itu akan jadi pesta yang paling hebat, justru bukanlah yang Colin inginkan.

https3a2f2fblueprint-api-production-s3-amazonaws-com2fuploads2fcard2fimage2f8297422f2b223048-c094-454d-8b27-c44bdf4c4152

Meskipun demikian, Crazy Rich Asians juga menampilkan sisi lain orang kaya. Colin dan Nick justru merasa lebih asyik menikmati waktu berdua, minum bir di atas semacam rakit biasa, sambil ngobrol dan bersantai. Di sisi lain, Peik Lin, dengan rumahnya yang super mewah dan baju-baju mahalnya justru nggak malu untuk menampilkan karakternya yang quirky dan bersahabat, dan bahkan menjadi sahabat terbaik ketika Rachel lagi stres. Oliver Tsien, meskipun kaya tetapi tetap tahu what’s right and what’s wrong, dan bisa jadi sosok yang reliable buat orang yang memang membutuhkan bantuan. Bahkan, di scene penjemputan di bandara dan makan-makan di hawker center, kita bisa lihat pakaian Colin dan Araminta tampak “normal”. Di hawker center, Colin dan Araminta bahkan pakai tank top biasa dan dengan karakter mereka yang hangat, Rachel sebagai orang baru di lingkaran itu merasa diterima. Dan satu hal, mereka nggak pilih tempat makan yang mahal; mereka justru makan di hawker center karena terkadang, yang baik tidak selalu yang mahal. Rich people know how to spend their money for the right things.

crazy-rich-asians-movie-cast

Peik Lin, Oliver Tsien, dan Rachel

 

Budaya, Keluarga dan Cinta

Berfokus kepada hubungan Nick dan Rachel yang ditentang oleh Eleanor, Crazy Rich Asians ini sebetulnya menampilkan cerita yang cukup “standar” di tayangan-tayangan Asia, terutama Asia Tenggara dan Korea Selatan. Cowok tajir, cewek biasa-biasa aja, dan ibunya cowok tajir yang “jahat”. Klasik sebetulnya. Hanya saja di novelnya, Kevin Kwan berhasil mengemas cerita klasik ini menjadi komedi romantis yang pantas buat dapat gelar best-seller. Filmnya pun nggak kalah keren. Dengan beberapa scene kocak dan karakter-karakter yang konyol, cerita klasik nggak kerasa kayak sinetron.

cra-04040-1524158355

Ah ma?

Mengambil latar di Singapura, Crazy Rich Asians kaya akan unsur budaya Asia (secara spesifik, Singapura) yang jarang ditampilkan secara detail di film-film Hollywood lainnya. Di film ini, kita akan disuguhi banyak makanan. Ya! Makanan! Scene Nick dan teman-teman makan di hawker center itu merupakan salah satu scene yang bikin lapar karena di scene itu, kita bisa lihat sate, kepiting, dan makanan-makanan lainnya. Di scene ini juga Nick menunjukkan keahliannya berbahasa dengan memesan makanan dalam bahasa Hokkien, Mandarin, Melayu, dan Tamil. Satu meja yang penuh sama piring-piring makanan ini tentunya sering kita lihat ketika ke food court. Persis kayak yang biasa kita lihat di food court.

b210d733-048f-444f-af97-7ba853f18257-crazy-rich-asians-singapore

Ko Colin dan ci Minty. Kok lebih cantik pas pake kacamata ya?

Kalau melihat aspek keluarga, keluarga Young adalah keluarga matriarki. Restu ah ma memengaruhi segala sesuatu ke depannya, dan ditampilkan di belakang truk pasir. Restu Ah Ma. Di beberapa daerah yang memiliki budaya matriarki, keputusan atau hal-hal besar itu ada di tangan wanita atau ibu, bukan ayah (kalau itu, berarti patriarki).

Untuk bisa menjalin hubungan dengan Rachel, Nick nggak hanya harus dapat restu ibunya, tapi juga dari ah ma. Sebetulnya ini merupakan hal klasik yang semua orang alami. Ketika nggak dapat restu, hubungan bisa jadi hal yang terlarang, apa pun alasannya. Dalam Crazy Rich Asians, hubungan Rachel dan Nick ditentang karena Rachel adalah seorang Chinese-American (sementara Eleanor dan ah ma ini sangat menjunjung tinggi budaya Tionghoa dan cenderung “saklek” dengan pola pikirnya yang kurang bisa menerima budaya lain). Status ekonomi Rachel juga menjadi faktor yang menentang hubungan dia dengan Nick. Di sisi lain, latar belakang keluarga Rachel bikin Eleanor dan ah ma semakin nggak suka karena nggak ingin ada gosip yang bisa merusak nama baik keluarga Young.

Perjodohan masih jadi hal yang cukup lazim terjadi di budaya Asia, dan biasanya yang merencanakan ini adalah orang tua. Salah satu alasannya adalah agar anaknya bisa mendapatkan pasangan yang “layak”. Padahal, cinta nggak bisa dipaksakan. Selain itu, masa lalu seseorang bukanlah indikator mutlak kualitas seseorang di masa sekarang. Hanya karena Rachel bukan orang kaya dan nggak berasa dari keluarga yang utuh, nggak menepis kenyataan bahwa Rachel Chu adalah seorang dosen ekonomi di New York University. Tapi ya itu tadi, kadang-kadang kalau status ekonomi sudah bicara, kecerdasan dan profesi jadi nggak ada apa-apanya. Film ini saya rasa bisa jadi semacam “teguran” keras buat orang-orang yang masih memegang paham bahwa jodoh ditentukan dari status ekonomi sosial seseorang.

Nilai-nilai kekeluargaan di film ini bisa dilihat salah satunya dari hubungan Rachel dan ibunya. Terlepas dari masa lalu ibunya, Rachel menerima keluarganya apa adanya. Pada scene mahjong setelah selesai bermain, Rachel menjemput ibunya yang main mahjong di meja yang berbeda, kemudian meninggalkan tempat mahjong. Keduanya tampak sangat akrab, meninggalkan tempat mahjong sambil bergandengan tangan ala ibu dan anak. Sementara itu, Eleanor dari tempat duduknya melihat ke arah Rachel dengan tatapan yang berbeda. Sepertinya momen ini merupakan momen Eleanor sadar bahwa ada hal yang lebih penting daripada status ekonomi dan sosial: keluarga. Kebahagiaan Nick tidak berada pada pasangan dengan status yang sama, tetapi pada sosok yang memang dia sayangi tanpa paksaan–Rachel. Keputusan Rachel untuk meninggalkan Nick juga saya rasa karena dia tidak hanya mencintai Nick dan nggak mau dia kehilangan keluarganya, tetapi juga karena dia tahu keluarganya nggak pantas untuk diinjak-injak oleh Eleanor yang memandangnya sebelah mata.

https3a2f2fblueprint-api-production-s3-amazonaws-com2fuploads2fcard2fimage2f8306832f3b33d14d-a7aa-4d9b-a38b-c80b295d1ce7

Rachel dan tante Kerry

Ada banyak pelajaran berharga tentang keluarga dan cinta di Crazy Rich Asians.  Dari Rachel, kita belajar bahwa kita punya harga diri dan keluarga yang nggak boleh  diganggu atau dirusak oleh orang lain. Dari Nick, kita belajar bahwa cinta itu layak untuk diperjuangkan, meskipun konsekuensinya sangat besar. Dari Eleanor, kita belajar bahwa luka masa lalu bisa memberikan dampak yang besar di masa sekarang, bukan hanya ke diri sendiri tetapi juga kepada orang lain.

 

Wajah Asia di Hollywood

Buat yang belum tahu nih, Crazy Rich Asians ini merupakan film Hollywood pertama dalam 25 tahun terakhir yang punya all-Asian casts. Ini artinya, semua pemain pentingnya, baik protagonis, antagonis, sampai side-kick adalah orang Asia. Sebelumnya, film Hollywood yang menampilkan all-Asian cast adalah The Joy Luck Club di tahun 1993. Sudah lama banget ya berarti Hollywood menampilkan wajah-wajah Asia sebagai pemeran utama.

Crazy Rich Asians sendiri buat saya secara pribadi menunjukkan bahwa kita, orang Asia berhak untuk tampil bukan sebagai orang kedua atau ketiga dalam hubungan, I mean, film. Maaf curhat colongan. Orang Asia juga berhak mendapat sorotan utama dalam film. Selama ini ketika kita nonton film Hollywood, pemeran utamanya hampir selalu orang kulit putih. Orang Asia yang ada biasanya dijadikan side-kick atau karakter-karakter yang nyeleneh. Jangan dulu film deh, series pun demikian. Saya suka F.R.I.E.N.D.S and I love Phoebe so much, tapi serial itu nggak menonjolkan karakter orang Asia. Di The Big Bang Theory, karakter Raj ditampilkan sebagai side-kick dan cerita lebih berkiblat pada Sheldon, Howard, Leonard, atau Penny (knock knock knock) Penny (knock knock knock) Penny (knock knock knock).

giphy

giphy1

Tobat Sheldon…

Sayangnya, saya melihat ada satu kekurangan, bukan dalam film Crazy Rich Asians itu sendiri, tapi dalam pandangan orang terhadap film itu sebagai representasi dari wajah Asia. Ketika bicara tentang Asia, we are talking about a broad concept. Asia itu bukan hanya Asia Timur, dan sayangnya banyak orang yang menganggap bahwa Asia itu sebatas orang Jepang, orang Korea, atau orang Tiongkok. How about Southeast Asians? South Asians? Embel-embel Asians yang ada pada judul film sebetulnya agak riskan karena ketika kita lihat karakter-karakter Asia yang kaya tujuh turunan itu sebagai orang Tionghoa Singapura, sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya, “Loh, Mukesh Ambani mana? Dia ‘kan tajir banget!” (rumah dia di Mumbai, Antilia, nilainya lebih dari 1 milyar dolar dan bangunannya punya 27 LANTAI!). Mungkin ada juga yang tanya, “Ciputra mana? Dia juga kan orang Asia dan tajir?”, “Hary Tanoe mana?”, atau “Raul Lemos mana?”

Ya, ketika bicara representasi Asia di Hollywood, langkah yang diambil ini sebetulnya masih anak tangga pertama. Masih ada banyak wajah-wajah Asia lainnya yang belum direpresentasikan. Wajah-wajah Asia Tenggara, wajah-wajah Asia Tengah, wajah-wajah Asia Selatan, dan lain-lain. Again. Asians cover not only East Asians, but also those of all countries in the Asia continent. Hopefully, ke depannya bisa ada wajah-wajah Melayu tampil sebagai protagonis di film Hollywood (si Iko Uwais semoga ke depannya nggak cuman tampil sebagai side-kick), wajah-wajah Mongolia, wajah-wajah India, dan negara-negara Asia lainnya. Untuk saat ini, setidaknya perfilman Hollywood sudah punya warna baru karena bosan juga kalau kita lihat orang kulit putih terus.

 

Kiblat Entertainment

Berdasarkan artikel di Wikipedia, warga keturunan Tionghoa itu hanya 1,20% dari total warga Indonesia yang jumlahnya 237 juta jiwa lebih (sensus tahun 2010). Jumlah ini kalau dilihat sangat kecil, terutama dibandingkan dengan warga keturunan Jawa yang mencapai 40% lebih. Hadirnya Crazy Rich Asians di bioskop-bioskop Indonesia, ketika dibandingkan dengan demografi Indonesia mungkin belum cukup disebut sebagai perwakilan Asia di kancah Hollywood, terutama dengan all-Asian cast yang secara spesifik adalah orang Tionghoa (di daftar cast sebetulnya ada juga artis asal/keturunan Filipina, Korea, Malaysia, Singapura, dan Jepang).

Selama ini, disadari atau tidak kita semacam menjadikan Hollywood sebagai kiblat hiburan. Film-film Hollywood sering kali ramai ditonton, bahkan yang animasi sekali pun. Karena Hollywood jadi kiblat hiburan, ketidakhadiran wajah-wajah familier seolah membuat kita sulit untuk mencari karakter atau sosok yang relatable, terutama dari aspek fisik. This might not be a problem if you are not into Hollywood stuff and love Indonesian movies instead, tapi kehadiran wajah-wajah Asia sebagai lead characters di film-film Hollywood tentunya akan ngasih warna baru supaya kita nggak hanya memuja white actors atau actresses saja, tetapi juga aktor dan aktris lain dari ras atau, setidaknya, benua yang sama.

 

Kesimpulan

Crazy Rich Asians bisa dibilang merupakan dream comes true saya karena saya ngikutin novelnya dan menanti kapan adaptasi filmnya sejak lama. Dengan plot klasik, tapi kemasan komedi romantis yang unik, kisah cinta Nick dan Rachel ini asyik buat diikuti.

Karakter-karakter quirky seperti Peik Lin dan keluarganya, dan bahkan Araminta (dia ini keliatannya kalem tapi ternyata orangnya riweuh ya) bikin ramai suasana dan jadi elemen komedi tersendiri. Selain itu, penampilan Michelle Yeoh dan Constance Wu memang nggak perlu diragukan lagi. Bahkan, Henry Golding sendiri yang sebelumnya belum pernah terjun ke dunia film pun menampilkan performa yang baik dan nggak “kaku” di depan kamera. Setting tempat yang dipakai, koleksi busana super mewah, dan musik yang ditampilkan saya rasa pas. Awalnya saya menduga akan ada banyak EDM, tapi musik-musik Mandarin lawas dan beberapa remake ternyata fit the movie much better.

Sayangnya, perbedaan plot di novel dan film cukup kentara dan jadi semacam kekecewaan kecil bagi saya yang ngikutin novelnya. Well it also happened to other novel-based movies. Harapan saya sih, dengan plot film yang sudah fixed ini, sekuelnya (hopefully ada) bisa tetap menampilkan cerita yang unik tentang para orang kaya tujuh turunan ini. Selain itu, nilai-nilai yang “diajarkan” melalui film ini juga membuat Crazy Rich Asians bukan semata-mata film komedi romantis tentang gadis biasa yang berpacaran dengan pria kaya raya, tetapi juga tentang pentingnya menjaga keluarga dan persahabatan, dan memperjuangkan cinta.

 

Personal rating: 8.2 out of 10 stars

Review: I Can Speak

Semua ini berawal dari C’est si bon. Kemarin saya dengar lagu Delilah yang dinyanyikan sama Tom Jones di tahun 1968.  Nah lagu ini ternyata diadaptasi ke versi Korea dan jadi salah satu musik yang diputar di film C’est si bon. Di Korea, C’est si bon ini semacam societeit yang cukup terkenal pada masanya. Ya, semacam tempat nongkrong appa eomma pada jaman dulu. Intinya sih, film C’est si bon itu sebetulnya diadaptasi dari tempat nyata. Film ini disutradarai oleh Kim Hyun-suk. Selain C’est si bon, dia juga menyutradarai film berjudul I Can Speak yang dirilis tahun 2017 kemarin. Dari sinilah, saya penasaran dengan filmnya dan akhirnya nonton.

bmm2ps27aqscesnbygzudazpsyy

Theatrical poster dengan tagline “꼭 하고 싶은 말이 있다!” atau “Ada sesuatu yang sangat ingin kukatakan!”

Dibintangi oleh Na Moon-hee dan Lee Je-hoon, film ini genrenya drama komedi. Tapi kalau bicara tentang film komedi Korea, saya sarankan kalian hati-hati. Why? Sengakak-ngakaknya film komedi Korea, lebih baik hati-hati karena twist di akhir film bisa bikin film tersebut jadi salah satu entri di daftar tearjerker movies penonton (Hello Ghost, misalnya).

Mengenai protagonisnya sendiri, kualitas akting keduanya saya rasa nggak perlu diragukan. Na Moon-hee sendiri merupakan artis senior yang di Indonesia kayaknya lebih dikenal lewat aksinya sebagai nenek bawel di film drama komedi Miss Granny (again, film ini semacam emotional rollercoaster buat penonton).  Sementara itu, Lee Je-hoon pernah jadi lawan mainnya Bae Suzy di film Architecture 101, film yang kakakku tonton dan bikin dia galau nggak jelas (so far ada dua film yang bikin kakakku tiba-tiba galau karena jomblo, Architecture 101 sama The Classic). Lee Je-hoon juga pernah main di film indie bertema gay dengan judul Just Friends?. Meskipun perbedaan usianya jauh banget, keduanya bermain sangat cantik di film ini.

20172b-2bi2bcan2bspeak2b2

Plot

Plot film ini sebetulnya sederhana: seorang nenek tukang jahit belajar bahasa Inggris ke pegawai negeri sipil. Karakter Na Ok-boon (Na Moon-hee) di film ini nggak jauh beda sama karakter Oh Mal-soon di film Miss Granny: bawel, berisik, galak. Sebetulnya stock character seperti ini sering kita lihat di kehidupan sehari-hari: ibu-ibu berisik, nenek-nenek yang suka ngomel, atau orang tua yang galak. Bukannya saya biased, tapi mendiang nenek saya karakternya mirip dengan Na Ok-boon ini: bawel, berisik, galak, tapi penyayang. Kalau lihat di film, stock character seperti ini bisa bikin ketawa. In real life, well, I can’t remember how many times my grandma scolded me for simple things.

Di film ini, Na Ok-boon terkesan menyebalkan, tapi sebenarnya dia itu heroine bagi banyak orang. Nenek ini setiap hari kirim laporan ke dinas sosial dan bahkan, dia ada 8.000 laporan yang tersimpan di kantor dinas sosial. Karena para pegawai di kantor dinas sudah jengah sama dia, dimintalah Park Min-jae (Lee Je-hoon) untuk handle si nenek ini.

Awalnya hubungan mereka sebatas customer-officer, tapi kemudian berkembang menjadi murid-guru (dan akhirnya seperti keluarga, terutama sejak diketahui bahwa Park Min-jae dan adiknya ini sudah nggak punya orang tua). Na Ok-boon juga punya sahabat dekat yang lebih fashionable dan gaul, dan sahabatnya ini bisa ngomong pake Bahasa Inggris, jadi si nenek semacam iri dan akhirnya minta Park Min-jae ajari dia Bahasa Inggris ketika tahu bahwa si pegawai sipil ini ternyata jago ngemeng English.

Di first-half, kita akan disuguhi berbagai scene lucu, seperti ketika si nenek disentil jidatnya sebagai hukuman karena melanggar peraturan “No Speaking Korean” pas main permainan tradisional bareng Park Min-jae, atau pas si nenek dengan sengaja balas dendam dengan lempar bidak catur ke jidat Park Min-jae, atau pas si nenek dibawa ke bar, dengan dandanan dan tampilan “kids jaman jigeum“, dan ditantang ngobrol sama bule selama lebih dari 10 menit, dan akhirnya malah pada main darts (and grandma is really good at it).

44gq1rv489r3rit068e2

Nenek gaul. Nenek lincah.

Meskipun pada awalnya penonton menduga bahwa alasan si nenek ingin belajar Bahasa Inggris adalah karena iri temannya bisa ngomong English lancar, di pertengahan film penonton disuguhi dengan kenyataan bahwa si nenek ini hidup sendiri selama bertahun-tahun tanpa keluarga. Sementara itu, adiknya diadopsi dan tinggal di Amerika Serikat. Setiap kali ingin telepon, si nenek selalu bingung karena adiknya nggak bisa Bahasa Korea, sementara di sisi lain si nenek ngomong English pun blah bloh. Scene Na Ok-boon, Park Min-jae, dan adiknya makan bertiga di rumah si nenek pada momen Chuseok cukup menyentuh, terutama kalau kita tinggal jauh dari keluarga. Di Korea, ada dua hari raya paling besar, Chuseok dan Seollal. Dua-duanya itu kalau di Indonesia macam Natal atau Lebaran.

ai-kaen-seupikeu

Masih ingat tentang sahabat si nenek yang jago ngomong English? Sadly, sahabatnya ini harus berjuang melawan penyakitnya yang semakin lama bukan hanya melemahkan tubuh dia, tapi juga ingatan dia. Ketika menjenguk sahabatnya, si nenek didatangi oleh dokter dan seorang wartawan. Si wartawan ini ternyata sejak lama sudah ada obrolan dengan si dokter dan sahabat si nenek. Ternyata, ada satu pesan terakhir yang ditulis untuk si nenek dari sahabatnya, dan di sinilah para penonton disuguhi dengan satu fakta memilukan tentang si nenek dan sahabatnya: mereka berdua adalah korban sex slavery zaman penjajahan Jepang. Setelah tahu keinginan dan pesan terakhir dari sahabatnya, si nenek memutuskan untuk melakukan satu hal besar: buka mulut.

Ah, saya lupa cerita satu scene di mana Park Min-jae dan si nenek ini semacam bertengkar hebat gitu. Pada akhirnya, si pegawai sipil menyadari kesalahannya setelah dikasih tahu adiknya bahwa si nenek ini hidup sendiri (basically adiknya ini udah kayak cucu di nenek dan ngingetin kakaknya, “Lo ga kasian sama nenek? Dia tinggal sendiri, lo malah berantem sama dia”) dan datang ke si nenek untuk meminta maaf. Park Min-jae juga semakin merasa bersalah ketika tahu tentang masa lalu si nenek. Akhirnya setelah bertemu lagi, si nenek ingin belajar lagi Bahasa Inggris dan minta satu hal terakhir dari Min-jae: si nenek ingin mengungkapkan tragedi itu ke seluruh dunia.

Singkatnya, si nenek pun dibawa ke Amerika Serikat untuk bersaksi sebagai seorang comfort woman di era kolonial Jepang. Apakah masalah selesai dan setiap karakter menemukan resolusinya? Belum beres. Testimoni si nenek dianggap tidak sah karena buktinya kurang. Representatif Jepang bahkan menuntut si nenek untuk menunjukkan bukti dan menduga si nenek ini hanya mau uang kompensasi saja. Terpisah jarak ribuan kilo, Park Min-jae masuk ke rumah si nenek dan berusaha mencari barang bukti yang bisa membantu menunjukkan bahwa Na Ok-boon (dan sahabatnya) memang pernah dipaksa menjadi comfort women pada zaman kolonial Jepang.

20170923144323293478

Pada hari H, si nenek sempat dipertanyakan keasliannya sebagai korban, tetapi akhirnya berani bilang “Yes. I can speak“, yang merupakan catchphrase utama dari film ini, I Can Speak. Apa kabar dengan Park Min-jae? Dia berhasil menemukan foto zaman dulu yang menampilkan si nenek dan sahabatnya sebagai comfort women. Hebatnya lagi, si pegawai sipil ini sampai terbang ke US dan datang untuk kasih barang bukti tersebut. Si nenek kelihatan happy sampai teriak “I’m fine! Thank you! And you?” ke Park Min-jae ketika dia masuk ke ruangan. Ada satu adegan yang cukup miris, ketika Na Ok-boon menaikkan kemejanya dan menunjukkan kepada semua orang luka sayatan yang dia terima dari anggota militer Jepang. Pada awalnya, dia bicara pakai Bahasa Korea dan bisa kita lihat betapa ripuhnya para bule pakai headphone ketika interpreter mulai menerjemahkan ucapan si nenek.

Lah terus capek-capek belajar Bahasa Inggris, kapan ngomongnya?

21090_61756_4856

Si nenek tiba-tiba berhenti bicara, dan melanjutkan lagi testimoninya dalam Bahasa Inggris. Setelah beres bersaksi, si nenek kemudian dibawa ke ruang istirahat dan akhirnya bertemu dengan adiknya yang sudah lama terpisah setelah adiknya melihat kabar tentang neneknya dari koran dan memutuskan datang dari Los Angeles untuk meminta maaf dan bertemu kakaknya. Here you can see a Korean American and a native Korean interacting. Yang satu ga bisa Bahasa Korea, yang satu Bahasa Inggris-nya terbata-bata, dan adegan ini bikin saya sangat sedih ketika sadar betapa hebatnya dampak dari perpisahan kakak adik seperti ini. Terpisah jarak dan budaya seperti ini sangat nggak mudah, tapi usaha si nenek untuk bisa berhubungan dengan adiknya harus diapresiasi.

Film ini diakhiri dengan Park Min-jae yang akhirnya naik pangkat setelah berhasil lulus tes. Si nenek seperti biasa masih galak dan bawel, tapi orang-orang jadi jauh lebih penyayang dan menghormati dia, termasuk preman pasar. Di akhir film, ada beberapa kliping berita tentang advokasi comfort women di Korea yang menuntut pemerintah Jepang, sebelum akhirnya screen goes to black.

 

Isu Comfort Women di Korea

Bersembunyi di balik genre drama komedi, I Can Speak sebetulnya merangkul satu isu yang sangat besar dan tidak boleh sampai terlupakan. Sebagai salah satu daerah jajahan Jepang, Korea juga mengalami perbudakan seks di mana anak-anak perempuan dijadikan “mainan” para anggota militer Jepang.

Membaca beberapa sumber, para comfort women ini diambil atau dipisahkan dari orang tuanya untuk dibawa ke semacam brotel dan dijadikan pekerja seks untuk para anggota militer Jepang yang butuh “tatih tayang”. Sedihnya lagi, pekerja seks ini nggak hanya orang dewasa atau remaja, tetapi juga anak-anak. Di film I Can See sendiri, diceritakan bahwa Na Ok-boon dan sahabatnya dikurung sebagai pekerja seks ketika usia mereka masih remaja awal. Mungkin kalau di kita anak SMP kelas 1. Miris ya. Pekerja-pekerja seks ini mendapatkan perlakuan yang nggak baik. Ada yang sampai disiksa bahkan. Setelah Korea merdeka dari penjajahan Jepang, nasib para budak seks ini nggak lantas membaik. Karena dipisahkan dari orang tuanya, ya mereka jadi harus hidup sendiri. Ketika orang lain tahu bahwa mereka bekas budak seks, mereka juga mendapatkan perlakuan nggak baik atau dipandang sebelah mata.

Di film I Can See, ada satu scene di mana Na Ok-boon bercerita tentang sahabatnya ini. Dia pernah bersaksi untuk publik bahwa dia pernah dipaksa menjadi budak seks untuk anggota militer Jepang. Sayangnya, interpreter yang menerjemahkan testimoninya nggak akurat dan justru menyampaikan pesan yang jauh berbeda. Sejak saat itu, sahabatnya ini belajar Bahasa Inggris mati-matian supaya bisa bersaksi sendiri. Adegan ini semacam memberi tahu kita bahwa setelah berani bicara pun, perjuangan mendapatkan keadilan masih jauh karena hal-hal tak terduga.

Di Korea, kadang-kadang ada nenek-nenek seperti sedang marah-marah di depan Kantor Kedubes Jepang. Mereka marah-marah bukan apa-apa, tapi karena ingin menuntut tanggung jawab pihak Jepang karena dulu mereka pernah dipaksa jadi budak seks untuk anggota militer Jepang. Wajar mereka sampai marah-marah gitu karena mereka memang menuntut hak mereka. Sejauh ini dari beberapa artikel yang saya baca, pihak Jepang sepertinya belum benar-benar “bertanggung jawab” atas tragedi itu. Beberapa negara korban perbudakan seks menuntut Jepang untuk meminta maaf secara resmi dan memberikan kompensasi. Ada yang sudah diberikan, ada yang belum, ada juga yang terhenti, berdasarkan beberapa sumber yang saya baca. Mirisnya, ada beberapa korban yang meninggal sambil membawa luka batinnya karena isu ini belum juga terselesaikan.

 

Jugun Ianfu di Indonesia

Dijajah Jepang selama tiga setengah tahun tidak lantas membuat kerugian yang dialami Indonesia lebih kecil dari kerugian yang dialami negara lain. Dari segi infrastruktur dan kota, kerusakan bangunan yang diakibatkan oleh agresi militer Jepang itu luar biasa, bahkan lebih parah. Nenek saya bahkan dulu sempat cerita tentang zaman perang dan bilang “Jepang tuh ampun ngerusaknya. Belanda itu bikin kota cantik. Jepang itu ngerusak semuanya.”

Kerugian Indonesia nggak hanya ada pada aspek infrastruktur, tapi emosional masyarakatnya. Indonesia pun jadi salah satu negara yang punya comfort women untuk para anggota militer Jepang. Dikenal dengan istilah jugun ianfu, para wanita ini bekerja menjadi budak seks, baik secara paksa atau dengan diiming-imingi sesuatu.

Saya dulu pernah baca isu ini di majalah Intisari. Waktu itu saya masih SD, jadi deskripsi dari korban yang vivid sekali itu rasanya sangat menakutkan buat saya. Perjuangan jugun ianfu di Indonesia juga tidak kalah berat dengan jugun ianfu di Korea (dikenal dengan istilah wi an-bu). Beberapa kelompok advokasi dengan gencarnya menuntut keadilan bagi para wanita korban perbudakan seks di era kolonial Jepang, tetapi lagi-lagi (berdasarkan beberapa sumber yang saya baca) tidak menemukan solusi yang baik untuk pihak korban. Permohonan maaf secara resmi dari Jepang masih ditunggu.

Nasib para wanita ini setelah ingkahnya Jepang dari Indonesia tidak lantas membaik. Sama seperti halnya korban perbudakan seks di Korea, wanita-wanita ini harus menyembunyikan lukanya. Ada sebagian yang nggak pulang ke kampung halamannya karena takut jadi bahan cibiran atau mendapatkan label “bekas Jepang”. Ada juga yang enggak menikah. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sayangnya, lukanya bertahan selamanya.

 

Kesimpulan

Sebagai penyuka drama komedi, mahasiswa jurusan Sastra Inggris, guru Bahasa Inggris, dan translator, saya terhibur dengan I Can Speak. Pertama, bidang minat saya dibahas jelas di artikel ini dan beberapa scene yang menunjukkan teachers’ pain benar-benar relatable (mis. ketika ngetes murid, tapi muridnya nggak bisa-bisa atau ketika bikin bahan bantu ajar buat murid sampai begadang).  Kedua, para pemain filmnya merupakan artis yang memang sangat berbakat dan kompeten di bidangnya sehingga si akting pun terasa natural dan lucu, tanpa dipaksakan. Ketiga, film ini ternyata membahas isu yang lebih mendalam dan serius yang mungkin sering kali terlupakan. Di era seperti sekarang, perbudakan seks semacam jadi masalah yang tersembunyi di balik political hollabaloo, tren musik dan fesyen terkini, dan semacamnya. Padahal, praktek perbudakan seks masih terjadi, bahkan terhadap anak-anak, meskipun prakteknya dibalut dalam “kemasan” yang berbeda.

I Can Speak bagi saya seperti film drama komedi yang menggambarkan perjuangan seorang nenek untuk mendapatkan hak dan menuntut pelaku kejahatan dengan belajar Bahasa Inggris. Film ini juga menjadi semacam pengingat buat semuanya bahwa isu perbudakan seks bukan hal yang bisa kita abaikan begitu saja. Mereka adalah bagian dari kita, bagian dari sejarah, dan nggak semestinya dilupakan. Gambaran nenek Na Ok-boon yang enerjik, bawel, galak, terlepas dari statusnya sebagai korban perbudakan seks menunjukkan bahwa mereka, para jugun ianfu ini masih bisa menjalani hidup meskipun menyembunyikan luka batin yang sangat mendalam. Dukungan dan kasih sayang dari orang-orang di sekitar Na Ok-boon setelah mengetahui bahwa si nenek pernah menjadi budak seks juga menunjukkan bahwa masih ada orang-orang yang tidak judgmental terhadap masa lalu seseorang dan justru mau peduli dan membantu. Selain itu, I Can Speak juga menjadi pengingat bahwa belajar bahasa asing (terutama Inggris) itu penting. Bukan hanya membantu di kehidupan sehari-hari, tetapi juga bisa bermanfaat untuk hal-hal yang bisa membuat perubahan besar.

 

Personal rating: 8,2 dari 10.

 

Daftar bacaan: 

Review: Over the Garden Wall (Miniseries)

For your information, sebetulnya terlambat banget  kalau saya review serial ini karena diluncurkannya pun sudah lama; it’s just me baru nonton di awal tahun ini, sementara serial ini  ditayangkan bulan November 2014. Anyway, serial ini tetap asyik ditonton dan, seriously, worth watching.

Attention! Kalau kalian penggemar hal-hal berbau gothic, dark comedy, fantasy, theatre of absurd, atau The Addams Family, serial ini layak buat ditonton. Walaupun bentuknya kartun dan miniseries, ini merupakan salah satu serial kartun berbumbu fantasi dan children horror yang saya suka. Mungkin apa ya, semacam film-filmnya si Burton, tapi disajikan dalam gaya Cartoon Network yang lebih kiddie.

 

Over-the-garden-wall-poster

Over the Garden Wall

Ketika pertama kali dengar namanya, saya kira serial ini bakalan ceria. I was expecting somewhere over the garden wall, which is cheerful, bright, and sunny (with bunnies and kitties, of course). In fact, the series was somewhat dark and thrilling, walaupun tetap mempertahankan unsur kartun yang lucu dan menggemaskan khas Cartoon Network. Over the Garden Wall ditayangkan pada bulan November 2014 selama satu minggu, dan dibuat berdasarkan film animasi pendek Tome of the Unknown.

Serial ini menceritakan tentang kakak adik Wirt (Elijah Wood) dan Greg (Collin Dean) yang mengalami petualangan di sebuah tempat yang disebut “the unknown” dalam pencarian jalan pulang. Dalam petualangan tersebut, keduanya ditemani oleh seekor kodok milik Greg (yang namanya selalu diganti-ganti seenak jidat) dan Beatrice (Melanie Lynskey), seekor eastern bluebird yang bisa bicara bahasa manusia. Keempat karakter tersebut juga bertemu dengan berbagai karakter, seperti ibu guru, hewan-hewan yang bersekolah, monster gorila, tukang kayu, dan antagonis utama cerita, The Beast.

By the way, di sepanjang serial karakter the beast ini hanya ditampilkan sebagai siluet dan sepasang mata aja yang kelihatan. Bentuk tubuhnya itu mirip pohon kalau kata saya, tapi pohon yang nggak ada daunnya, jadi tinggal sisa dahan sama ranting aja. BUT kalau kalian tonton terus serial ini dan sampai ke episode terakhir, you guys can catch a glimpse of his real appearance which I will not describe. Ngeri? Buat ukuran kartun anak sih bagi saya cukup mengerikan. Grotesque lah istilahnya. And probably that’s why he is always depicted in a form of silhouette throughout the series. Kalau penasaran sama penampilannya, googling saja.

 

1280x720-l0S

Latar Tempat dan Waktu

Over the Garden Wall memiliki latar tempat dan waktu yang unik. Secara keseluruhan, let’s say, 8 dari 10 episode menampilkan pedesaan dan hutan sebagai latar tempat. Untuk latar waktu, saya sendiri nggak tahu pastinya kapan but I’m pretty sure it must be some time in the past, terutama kalau lihat dari pakaian dan gaya bicara beberapa karakter, dan gaya arsitektur bangunan yang ditampilkan . Wait, kenapa cuman 8 dari 10 episode yang menampilkan latar tersebut? Dua episode lagi gimana? Keep on reading and you’ll find out.

Karena mengikuti latar waktu dan tempat, palet warna kuning kecokelatan mendominasi serial ini. Kesan klasik dan antik terasa cukup kuat, meskipun tingkah para karakternya kadang nggak masuk akal dan kocak. Kalau filter Instagram, mungkin apa ya? Willow, I guess?

 

1393_over_the_garden_wall

Karakter

There are a lot of cats, bunnies, and puppies! Nggak banyak banget sih sebetulnya tapi hewan-hewan itu cukup prominent di serial ini. Selain itu, hewan-hewan hutan juga bisa kita lihat di sepanjang serial. Buat saya, karakter-karakter hewan (kecuali si kodok dan Beatrice si burung biru) memberikan sentuhan gemas di serial ini karena, seperti yang saya bilang sebelumnya, serial ini bernuansa dark. Anggaplah mereka memberikan keseimbangan layaknya yin dan yang (apaan sih).

Konflik dalam serial sejauh ini disebabkan oleh karakter manusia dan the beast. Konflik utamanya sebetulnya antara kakak adik versus the beast sih, tapi di dua episode terakhir kita bakalan tahu bahwa dua karakter utama, Wirt dan Greg, mengalami semacam konflik tersendiri yang pada akhirnya membuat mereka harus mengalami petualangan panjang. Agak complicated sebetulnya karena setiap karakter mengalami konflik masing-masing, seperti Wirt dengan urusan asmaranya. Greg dengan dilemanya (we can watch how emotional it is actually on the 8th episode), Beatrice dengan kutukannya, dan lain-lain.

Di akhir serial, kita bisa lihat semua karakter, termasuk karakter-karakter tambahan yang ada di “the unknown” mendapatkan semacam resolusi. Is it a happy ending? I would say yes.

Ah, sampai lupa! Serial ini genrenya fantasy dan dark comedy, dan ada sentuhan horor juga jadi jangan kaget ketika di beberapa episode, kita bisa lihat karakter-karakter mengerikan, seperti anjing yang so-called “kesurupan”, cewek yang berubah jadi monster pemakan daging manusia, dan lain-lain. Setelah nonton beberapa episode, dan kalau kamu jeli, you’ll realize that the horror of the series is already portrayed in the introduction part as seen here:

Oh ya, itu episode pertamanya, lengkap, dan diunggah secara resmi sama Cartoon Network. Sayangnya, episode-episode berikutnya nggak mereka unggah secara resmi jadi harus cari sendiri kalau mau nonton.

Eh balik lagi. Setiap episode ‘kan diawali dengan pembukaan yang menampilkan adegan-adegan kehidupan orang-orang, seperti anak-anak yang main perahu kertasnya Maudy Ayunda di sungai, ibu-ibu yang menjahit, perempuan yang ngambil air di sumur, dan sebagainya. Di akhir serial, tepatnya di episode terakhir, ada juga semacam video penutup yang, kalau dibandingkan dengan video pembuka, akan mencerminkan hubungan antara keduanya. Seperti apa ya? Kayak, kamu harus nonton dulu video pembuka, lalu nonton serialnya, lalu pas terakhir kamu disuguhi video penutup yang bikin kamu, “Ah, jadi ini tuh si ini, itu tuh si itu, mereka tuh akhirnya hidup seperti ini.” That kind of stuff lah.

 

giphy

Musik

Ini adalah salah satu hal yang saya suka dari serial ini. Meskipun kategorinya miniseries, serial dengan durasi sekitar 10 menit per episode ini terkesan lebih “kaya” dengan musik-musik pengiring yang indah. Bahkan, soundtrack-nya dirilis juga dalam bentuk piringan hitam, sesuai dengan tema dan nuansa serial ini.

Satu album soundtrack memuat sekitar 30an lebih lagu, dengan beberapa bonus track. Album ini didominasi oleh genre-genre seperti musical, big band, swing, piano pop, dan ambiance. Ada juga beberapa lagu yang menampilkan beberapa elemen musik yang khas seperti mandolin Italia, honky-tonk piano, atau angelic vox. Ada beberapa lagu yang saya suka dari album ini, seperti Potatoes and Molasses yang menonjolkan suara gemas khas anak-anak si Collin Dean dengan iringan piano sekolah, Prelude, Into the Unknown yang menjadi theme song serial ini, Patient is the Night dengan iringan slow big band yang melankolis, A Courting Song, dan Everything is Nice and Fine sebagai bonus track.

giphy1

 

Patient is the Night

 

Into the Unknown

 

Potatoes and Molasses

 

141021mag-over-garden-wall1

Plot

Kalau nonton dari awal, mungkin kita akan menganggap bahwa serial ini punya plot linear, like dari A ke B ke C ke D secara berurutan dan kronologis. Petualangan diceritakan dari hari ke hari, tempat ke tempat, mengikuti ke mana arah mereka melangkah. BUT WE’LL GET EARLY PLOT TWIST!

Sampai sini tahan dulu sebentar karena ini bakalan agak spoiler alert. Nah, ini masuknya spoiler sebetulnya.

Oke, jadi sebelumnya saya bahas tentang latar tempat dan waktu di serial ini. Saya bilang dari 10 episode, 8 episode menampilkan latar tempat di pedesaan dan hutan, dan berbagai event di serial ini terjadi some time in the past. Bagaimana dengan dua episode sisanya? Serial ini memberikan kejutan karena dua episode terakhir bisa dikatakan mengungkap banyak hal, dari mulai identitas kakak adik Wirt dan Greg, dari mana mereka berasal, bagaimana mereka bisa kesasar di “the unknown“, siapa karakter-karakter yang lain sebenarnya, apa sebetulnya konflik yang melatarbelakangi petualangan mereka, kenapa serial ini dinamai Over the Garden Wall, dan lain-lain.

Jadi plot serial ini nggak mutlak linear sebenarnya, tapi ada flashback. Hmm… mungkin semacam kamu udah nonton dari A ke B, lalu ke C, ke D, dan selanjutnya sampai ke H, lalu tiba-tiba kamu dibawa ke satu episode yang menjelaskan bahwa sebelum A itu ada loh kejadian lagi so it’s like dari 8, kamu kembali ke minus 5. Setelah itu, dengan cepat kamu dibawa lagi ke 8. Semacam bolak-balik lah. Pusing? Jangan khawatir. Flashback ini cuman terjadi di satu episode doang kok dan episode itu, ya itu tadi, mengungkap banyak hal.

giphy2

Oh ya, dari flashback itu kita bisa lihat perbedaan latar. Ya, ada dua latar utama di serial ini, “the unknown” dan kota asal Wirt dan Greg. Kota asal? Walaupun mereka pakai pakaian yang kelihatannya klasik, mereka berdua itu sebenarnya orang kota dan berasal dari zaman sekarang. Yes. Present day, karena seperti yang saya bilang sebelumnya, “the unknown” was some time in the past.

Kenapa mereka bisa terjebak di “the unknown” bisa diketahui di dua episode terakhir. Pada akhirnya, mereka kembali ke masanya kok. Mungkin pertanyaan yang muncul adalah, tempat apa sih sebetulnya “the unknown” itu?

Kalau bicara tentang film yang menampilkan flashback ke masa lalu, kemungkinan ada semacam mesin waktu atau alat semacamnya yang bisa membawa orang melintasi dimensi ruang dan waktu. Sayangnya, di film ini kedua protagonis masuk ke “the unknown” bukan menggunakan mesin waktu, tapi karena suatu kejadian yang hampir menewaskan keduanya. So yes, “the unknown” is, I dunno, a purgatory I say. Apa ya kalau bahasa Indonesianya? Purgatorium. Atau mungkin kalau di Islam semacam alam barzah? Saya nggak tahu pasti namanya apa tapi saya rasa “the unknown” ini semacam alam pertengahan antara hidup dan mati. Akan tetapi, di “the unknown” juga ada kehidupan tersendiri jadi mungkin saya bilangnya underworld atau afterlife, tapi prasurganeraka.

Dugaan saya mengenai “the unknown” sebagai purgatorium ini karena pertama, pakaian dan gaya bicara beberapa karakter yang mencerminkan era-era lama, apalagi setelah dibandingkan dengan penampilan Wirt dan Greg di masa sekarang. Kedua, ada petunjuk di episode sembilan yang bisa dikaitkan dengan salah satu karakter di episode sebelumnya. Petunjuknya apa? Mendingan nonton dan cari tahu sendiri. Nonton dulu episode-episode awal, dan cari petunjuknya di episode sembilan. Ketiga, karakter-karakter di “the unknown” mengalami konflik juga dan konflik ini disebabkan oleh satu entitas (atau beberapa yang tetap saling berhubungan). Di purgatorium, jiwa seseorang sebelum masuk surga kan dibersihkan dulu dari dosa, dan saya melihat konflik-konflik yang dialami karakter-karakter di “the unknown” sebagai “pembakaran dosa” sebelum pada akhirnya setiap karakter mendapatkan resolusi masing-masing.

 

giphy3

Tema

Ada beberapa tema di serial ini yang saya baca, tapi tema utamanya adalah keluarga dan persahabatan. Ya, kedua hal itu udah mencakup cinta ya. Karena ini petualangan yang melibatkan kakak adik, tema kekeluargaan terasa lebih kuat di sini. Selain itu, adanya teman-teman yang menemani petualangan juga mencerminkan tema persahabatan. Ya, intinya sih temanya menggambarkan bagaimana sebagai keluarga atau sahabat harus bisa saling menolong, saling mendukung, mau berkorban.

The series is also about being brave and confident, being able to take a decision. Serius loh nonton serial ini tuh seperti naik emotional roller coaster. Di episode-episode awal kita mungkin akan dikecohkan dengan tingkat Wirt yang konyol, Greg yang menggemaskan, dan karakter-karakter lain yang sama lucunya. Tapi, begitu kita sampai ke dua episode terakhir, mood kita seperti dibawa naik turun, antara takut, sedih, kecewa, dan lega. Saya nggak akan menceritakan lebih banyak tapi yang jelas, serial ini menyentuh walaupun nggak sampai bikin saya nangis.

 

giphy4

Secara keseluruhan, serial ini merupakan salah satu serial “berkualitas” dan memiliki makna yang cukup mendalam kalau dibandingkan dengan serial Cartoon Netowrk lainnya. Unsur petualangannya ada, tapi unsur emosionalnya juga lebih kental. Buat penyuka horor, fantasi, atau dark comedy, penggambaran latar dan plot serial ini menurut saya bagus jadi serial ini layak ditonton.

And guess what, di IMBD serial ini dapat skor 9,2 dari 10. Google sendiri menampilkan skor 97% dari 100%. Dengan plot, ide cerita, dan visual yang menarik, saya rasa nggak heran kalau miniseries ini bisa tembus skor yang besar, apalagi untuk level miniseries kartun.

Over the Garden Wall menyuguhkan nuansa nostalgic dalam balutan palet warna kuning keemasan dan latar tempat yang klasik. Mengusung genre fantasy dan dark comedy, miniseries kartun ini menawarkan cerita yang nggak sebatas lucu dan menggemaskan, tetapi juga menggambarkan petualangan kakak adik, kepedulian, dan pengorbanan demi orang tersayang dalam pencarian jalan pulang ke rumah.

4158_over_the_garden_wall

 

 

Selamat menonton!